One
이게 마지막 내 자존심이라
This is the last bit of my pride
뻔하겠지만 내 얘길 들어줘
So it might sound typical but listen to my story
나는 변명 따윈 질색이지만
I hate giving excuses
널 놓치면 안 될 것 같아 난
But I don’t think I can lose you
어제 딴 여자와 밥을 먹었어
I ate dinner with another girl yesterday
니가 미워서 너무 미워서
Because I hated you, I hated you so much
니가 그 남자를 생각하는 게
Because I can see you
매일 난 눈에 보여서
Thinking of him everyday
삐뚤어지면 날 봐 줄까 봐
Maybe you’ll see me if I act badly
이렇게라도 니 관심을 돌려
I try to gain your attention like this
Dara dara dadada
I don't wanna let you go
어떡해야 널 가질 수 있니
What can I do to have you?
거짓말이라도 해봐 좀
At least lie to me
빈말이라도 잊겠다고
Even if you don’t mean it, tell me you’ll forget him
희망고문이라도 해봐
Even if it’s hope torture, do it
빈틈을 좀 보여줘
Show me some kind of flaw
내 자리는 어디도 없어
There is no spot for me
최소한의 숨이라도 쉬게 맘을 열어줘
Open your heart so at least I can
breathe a little
(NU’EST – Love Without Love 사랑 없는 사랑)
Akhirnya aku kembali lagi kesini. Memang
heran rasanya hanya berpisah selama satu setengah bulan, aku sudah merindukan
tempat ini. Setelah lima tahun berlalu, kali ini aku bukan Kembali kesini
sebagai seorang murid, tapi seorang guru. Aku dulu memang alumni SMA Hwachin.
Ya, Hwachin School adalah sekolah yang terdiri dari departemen Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Ini adalah tahun pertama
bagiku mengajar di sekolah ini, setelah aku lulus ujian untuk melamar jadi guru
lima bulan yang lalu. Setelah lulus ujian, selama sisa semester genap, aku
menjadi asisten guru untuk membiasakanku dengan system belajar mengajar di
sekolah ini. Kali ini setelah tahun ajaran baru tiba, memang statusku masih
belum menjadi guru tetap, aku masih menjadi guru kontrak dan harus berjuang
setahun (jika beruntung) atau dua tiga tahun untuk mendapatkan status sebagai
guru tetap, tapi setidaknya aku bukan seorang asisten guru lagi. Ya, jadi boleh
dibilang pendapatanku tidak akan terlalu besar, tapi juga tidak terlalu buruk.
Aku juga masih melanjutkan kuliahku untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan
Bahasa Inggris-ku yang dimulai bulan ini juga. Aku akan menjadi guru Bahasa
Inggris di tingkat SMP dan SMA. Selain itu, aku juga ditugaskan untuk menjadi wali
kelas 3B di tingkat SMA. Aku tegang? Ya, tentu saja, karena semua ini adalah
pengalaman baru untukku: menjadi seorang guru dan wali kelas. Tapi harusnya aku
bisa melakukannya dengan baik karena aku sudah kenal murid-murid ini sejak aku
menjadi asisten guru beberapa bulan kemarin. Aku senang bisa mengamati
perkembangan karakter mereka. Murid-murid SMA Hwachin rata-rata cukup dewasa,
ramah dan tidak menyusahkan. Ya, harusnya segalanya akan baik-baik saja, kan?
Aku ingin tidak khawatir, tapi… aku masih juga ragu. Apakah aku bisa menjadi
guru yang baik? Apakah aku bisa menjadi wali kelas yang baik? Apakah aku bisa
beradaptasi dengan baik?
“Choeun! Apa yang kaulakukan?” teriakan
membahana disertai pukulan cukup keras mendarat di bahuku dan itu menyakitkan.
Aku menoleh dan mendapati Eunyul eonni-lah
yang baru saja menghajarku. Dia boleh dibilang adalah rekan guru yang langsung
akrab denganku, meski ini juga baru tahun keduanya mengajar di departemen SD.
Tahun ini dia juga sudah mendapatkan status guru tetapnya. Dia adalah guru
spesialis Pelajaran Seni Rupa. Meski kami mengajar di departemen yang berbeda,
Eunyul eonni yang ceria berinisiatif untuk berteman denganku Ketika aku makan
sendirian di kantin di hari pertama aku mengajar sebagai asisten guru. Dan anehnya,
seperti berjodoh, akupun cepat akrab dengannya, meskipun kami berdua mengklaim
diri sebagai seorang introvert. Tapi banyak orang bilang, Ketika para introvert
berkumpul dan mereka merasa nyaman satu sama lain, maka mereka akan cepat
akrab. Eunyul eonni sendiri enam tahun lebih senior dariku.
“Apa maksud eonni? Tentu yang kulakukan
adalah berjalan ke ruang guru,” jawabku lugas.
“Ya, ya, tapi kau tidak sedang berjalan,
tapi hanya berdiri di tengah lapangan.”
Aku melihat ke sekitarku dan baru tersadar
bahwa aku benar-benar sedang berdiri di tengah lapangan sekolah kami, tampak
bodoh, sementara murid-murid yang datang lebih awal ke sekolah dan melewati
kami, sudah menyapa kami.
“Oh, ya ampun,” keluhku sambil mulai
melanjutkan langkahku.
“Apakah kau tegang dengan posisi barumu
tahun ini?” tanyanya tepat sasaran, “seorang guru dan seorang wali kelas?”
Aku mendesahkan nafas panjang, “ya, itu
benar.”
“Oh ya, di kelas berapa kau akan jadi wali
kelas? Siapa saja muridnya?”
“Aku lupa memberitau eonni, aku sudah dapat
daftar muridnya dari bulan lalu.”
Aku menyerahkan ponselku padanya setelah
membuka dokumen yang berisi nama murid-murid kelasku.
“Kau sudah pernah bertemu mereka juga kan,
sebelumnya?” tanya Eunyul eonni sambil berjalan maju bersamaku, lalu dia
tertawa, “kelasmu akan ramai. Siapa yang mengatur Heo Chungdae dan Sun Joonki
menjadi sekelas? Oh, seingatku Min Dongsun tahun kemarin sudah satu kelas
dengan Chungdae, kan? Tapi tenang, kau dapat Dongsun dan Won Hyeil, kau bisa mengandalkan
mereka.”
Aku tertawa gugup. Memang nama-nama itu
sudah tidak asing di telingaku dan aku bisa membayangkan kelasku yang akan
ramai nantinya. Eunyul eonni mengembalikan ponselku.
“Tenang, segalanya akan baik-baik saja,
karena kau itu Baek Choeun, ingat?”
“Ya, kuharap begitu.”
“Baik, kita berpisah disini. Nanti kita
bisa bertemu saat makan siang di kafetaria.”
“Have
a nice day eonni!” ujarku sambil melambai ke sosoknya yang masuk ke gedung
departemen SD.
Gedung departemen SD adalah yang paling
kiri dan cukup dekat dengan gerbang sekolah, sedangkan departemen SMP dan SMA
ada di gedung paling kanan, yang berarti aku harus berjalan cukup jauh melewati
gedung tengah yang merupakan gedung administrasi dan lantai dua dan tiganya
berisi banyak laboratorium dan ruang kegiatan untuk siswa SD. Ruang guru ada di
lantai satu di gedung SMP dan SMA dan aku yakin belum banyak guru yang datang,
karena aku datang lima menit sebelum jam tujuh, sementara sekolah sendiri dimulai
dari jam delapan. Jam belajar siswa SMP dan SMA selesai pada jam setengah lima
sore, tapi banyak siswa yang bisa pulang di atas jam tujuh malam karena banyak
kegiatan ekstra dan jam belajar
mandiri yang harus mereka ikuti.
“Miss
Baek, good morning!”
Aku kaget bukan kepalang karena ada yang
tiba-tiba merangkulku sambil melangkah bersamaku.
“Heo Chungdae!” teriakku, terkejut.
“Ah sorry
miss, apakah aku mengagetkanmu?” tanyanya sambil tersenyum lebar.
“Ini masih sangat pagi, apa yang kau
lakukan disini?”
“Aku hanya terlalu semangat hari ini.”
Heo Chungdae, murid yang tadi dibahas Eunyul eonni
bersamaku, adalah salah satu murid di kelasku tahun ini. Dia menjadi salah
seorang murid yang menonjol karena tinggi badannya yang lebih dari 180
sentimeter. Dia tampan dan tampak selalu santai. Saking santainya, aku melirik
pakaiannya yang tidak rapi, seperti biasanya.
“Tentu kau bukan semangat karena akan mulai
belajar lagi kan?” tanyaku skeptis mengingat Chungdae bukan tipe kutu buku,
“ngomong-ngomong, rapikan seragammu. Masukkan kemejamu dan perbaiki dasinya!”
“Tentu aku bukan semangat karena aku harus
belajar lagi, miss. Aku hanya ingin mampir ke lapangan basket sebelum
mulai pelajaran,” jawabnya sambil berjalan menjauhiku dengan melangkah mundur,
“aku akan rapikan seragamku sesudahnya.”
“Jangan berkeringat pagi-pagi!” teriakku
pada sosoknya yang sudah mulai menjauh.
“Jangan khawatir, aku bawa baju ganti miss!”
Dan setelah melambai, dia berlari begitu
cepat menjauhiku. Dia memang selalu ceria dan sejauh yang kuketahui, dia tidak
pernah stress dalam urusan akademis
(ya, dia tidak khawatir tapi semua guru khawatir tentang itu, dia sering
menjadi topik hangat di ruang guru). Satu hal yang menjadi hobinya adalah
olahraga. Dia termasuk murid yang sangat hormat pada gurunya dan ramah pada
semua orang. Tapi aku kaget, sejak kapan dia berani merangkulku? Apa karena dia
semakin tinggi akhir-akhir ini sementara tinggi badanku hanya 160 cm?
***
Jam delapan setelah bel berbunyi adalah
waktunya wali kelas menghabiskan waktunya bersama murid asuhannya selama lima
belas menit jam sebelum jam belajar resmi dimulai. Biasanya wali kelas akan
mengabsen para murid, mengobrol santai sekaligus memberikan informasi penting
dan nasehat (bila perlu, tapi kurasa ini akan menjadi kewajibanku mengingat
Chungdae dan Joonki ada di kelasku). Memeluk sebuah folder berwarna merah, aku
perlahan melangkah menuju kelas 3B yang berada di lantai empat Gedung sekolah
(aku akan cukup olahraga tiap hari). Aku melirik melalui jendela sepanjang
koridor, tapi tirai menutupi jendela-jendela tinggi itu. Selain itu, aku tidak
mendengar suara apapun. Apakah mereka semua kabur dari kelas? Dengan hati yang
berdebar-debar karena tidak mau ada masalah yang terjadi di hari pertamaku, aku
menggeser pintu kelas terbuka.
“Welcome,
Miss Baek!”
Mendadak aku dihujani oleh konfeti dan
murid-murid sudah bertepuktangan ceria menyambutku. Lenganku diapit oleh dua
murid yang berikutnya kusadari adalah Chungdae dan Sun Joonki, yang keduanya
dikenal sebagai seksi huru hara di sekolah, mereka mengapitku hingga ke meja
guru di depan kelas, masih diiringi tepuktangan dan suara riuh rendah para
murid. Mereka akhirnya melepasku dan aku bisa melihat kelas penuh dengan
dekorasi balon dan pita, dan di belakangku, di papan tulis, ada tulisan besar welcome miss 백초은 dan didekorasi indah sedemikian
rupa. Won Hyeil si ketua Students Committee sudah membuka tirai yang
menutupi jendela tinggi sepanjang koridor. Setelah beberapa lama, Min Dongsun
si wakil ketua Students Committee
mengangkat tangannya dan tepukanpun berhenti. Aku tersenyum sambil melihat
muridku satu persatu. Mereka masih ceria seperti yang selalu kuingat: Chungdae
secara mengejutkan duduk di meja paling depan (aku tak ingat pernah melihatnya
duduk di barisan depan seumur aku mengenal dia) masih memegangi sisa konfeti di
tangannya; di pojok belakang Dongsun duduk,
hanya karena dia tidak mau tinggi badannya menghalangi
pandangan teman-temannya; Joonki duduk di barisan tengah, memakai sejenis topi
kerucut untuk pesta ulangtahun; Jeon Yeowoo si tomboy cantik duduk di depan
Dongsun dan dia masih tersenyum lebar. Hyeil duduk di sudut kelas yang satunya,
tersenyum lebar juga. Aku tertawa karena tak yakin kalimat mana yang harus
kuucapkan dulu.
“Kalian…sejak kapan kalian menyiapkan ini?”
tanyaku masih sambil tersenyum lebar.
“Tadi pagi! Kami harus mengendap saat
melewati ruang guru, bahkan Joonki rela naik lewat tangga paling ujung supaya miss tidak melihat dia datang,” lapor
Yeowoo.
“Tunggu, jadi tadi pagi…” aku melirik
Chungdae.
“I
didn’t play basketball, miss. I’ve lied to you,” ujar Chungdae sambil
tersenyum lebar.
“How
dare you to lie to me?” tanyaku pura-pura marah.
“It’s
okay miss, it’s a white lie.”
Jawaban Chungdae membuat seisi kelas
tertawa.
“Semua ini ide Chungdae, miss, kami hanya menjalankan
rencananya,” lapor Joonki.
Aku menaikkan sebelah alisku skeptis.
Memang Chungdae ini seksi huru hara tapi aku tak menyangka dia sampai
menyiapkan kejutan untuk menyambutku. Namun setelah namanya disebut, dia makin
bangga dan berdiri sambil mengucapkan terimakasih kepada teman-teman di
sekitarnya sambil menepuk dadanya. Dia memang masih anak-anak.
“Ya, ya, baiklah, terimakasih banyak
Chungdae.”
“Apapun untukmu miss,” balasnya sambil membungkukkan badannya, dengan tangan
kanannya di dada dan tangan kirinya dilambaikan rendah seolah memberi salam
kepada keluarga kerajaan Inggris.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku
melihat kekonyolannya.
“Baik, baik, karena ini hari pertama di
tahun ajaran, mari kita pilih perangkat kelas sekarang,” ujarku berusaha
mengontrol suasana kelas sambil menepuk tanganku, “kita harus pilih ketua kelas
kita.”
“Hyeil dan Dongsun!” teriak Yeowoo paling
keras.
“Ah no
no please not us again,” tolak Hyeil sambil tertawa dan melambaikan kedua
tangan di depan dadanya.
“Tolong bebaskan kami, kami masih menjabat
ketua dan wakil ketua Students Committee sampai akhir semester ini,”
ujar Dongsun sambil setengah memohon.
Sudah kuduga mereka pasti akan memilih
Hyeil dan Dongsun karena sejak SD, kudengar, mereka selalu bisa diandalkan.
Maka tidak mengherankan mereka memegang tahta tertinggi para murid saat ini di Students
Committee.
“Bagaimana kalau Joonki?” tawarku sambil
menunjuk Joonki dengan ujung spidol.
“Jangan miss!
Bagaimana kalau Chungdae saja?” balas Joonki sambil menunjuk Chungdae.
Suasana ramai lagi, tapi herannya, Chungdae
tidak menunjukkan penolakan yang berarti. Dia banyak berubah. Atau… akhir-akhir
ini dia salah makan?
***
Aku sudah menduga seminggu pertama di tahun
ajaran akan berat untukku, sudah empat hari belakangan aku pulang jam delapan
malam ketika murid yang belajar mandiri juga sudah mulai pulang. Aku
menggerakkan leherku yang pegal sambil tangan kananku menjinjing laptopku. Aku
tidak suka membawa pekerjaan pulang, tapi aku tidak punya banyak pilihan.
Memikirkan aku masih harus berjalan sekitar lima menit menuju stasiun subway membuat langkahku berat.
“Miss,
let me help you,” seketika ada yang mengambil laptop dari tanganku.
Aku nyaris berteriak, kukira ada perampok
di lingkungan sekolah. Tapi rupanya itu hanya Min Donghyun, yang terlihat agak
berkeringat.
“Oh Donghyun, you haven’t go home yet?” tanyaku setelah mampu menguasai diriku.
Donghyun adalah adik Dongsun. Min brothers
memang sangat populer di sekolah, aku tak tau siapa yang punya fans lebih
banyak di antara keduanya. Jika mau dibilang apa yang menarik tentang mereka,
mereka punya cukup banyak persamaan, tapi aku tetap merasa ada pesona yang
berbeda pada mereka. Sementara Dongsun boleh dikatakan hampir sempurna (nilai
akademis hampir sempurna, dia cukup jago dalam olahraga, dan mahir memainkan
gitar) maka dia terpilih sebagai wakil ketua Students Committee; Donghyun tidak begitu serius dalam belajar
(meski semua guru yakin dia cerdas) dan dia juga jago berolahraga (dia kapten
tim sepakbola sekolah dan masuk juga dalam tim basket). Secara fisik, mereka
hampir sama tingginya, meskipun ada yang mengatakan Donghyun sedikit lebih pendek,
hanya satu dua sentimeter. Kalau soal ketampanan, banyak orang sulit memilih
dan akupun begitu pada awalnya.
“Well,
I’m just done with my basketball club,” jawab Donghyun.
“Dimana Dongsun? Kalian tidak pulang
bersama?”
“Dia sudah duluan karena akan belajar
kelompok, katanya.”
“Wow, seperti yang kita harapkan dari
seorang wakil ketua Students Committee.”
“Kita bisa ke stasiun subway bersama-sama, miss.”
“Baiklah, itu ide yang baik.”
Kami bersama-sama melangkah di keheningan
malam. Memang tidak banyak keramaian di lingkungan sekitar sekolah kami,
apalagi pada waktu malam begini. Biasanya orang-orang yang lewat hanya murid
SMA Hwachin.
“Miss,
actually I feel disappointed.”
“Why?”
“Kenapa bukan miss yang menjadi wali kelas kami?” tanya Donghyun.
Aku menoleh pada Donghyun dan melihat
wajahnya yang cemberut. Sungguh lucu bagaimana seorang murid SMA kelas dua
masih bisa cemberut hanya karena masalah kecil seperti ini.
“Oh, kukira apa,” tawaku ringan, “aku juga
tidak tau. Ini keputusan kepala sekolah.”
“Pasti akan lebih menyenangkan kalau kami
dapat miss. Ini bukan karena pilihan miss kan?”
“No.
Trust me I’m just following order from my boss.”
“But
at least you’re still our English teacher.”
“Yes,
don’t worry I’ll still teach your class.”
Kami tertawa kecil dan terus berjalan
menuju stasiun subway. Perjalanan
yang menjadi menyenangkan. Bagaimana tidak, aku ditemani murid yang tampan ini.
***
“Miss
Baek.”
“Oh ya, Kim sonsaengnim.”
“Bisa kita bicara sebentar?”
Mau tidak mau aku gugup juga dipanggil
begini oleh Kim sonsaengnim, wanita di awal umur 30-an yang merupakan kepala
guru SMA, atasanku langsung di departemen SMA. Aku mengikutinya melangkah
menuju mejanya di pojok ruangan. Dia mempersilahkan aku duduk di hadapannya.
Dia tersenyum menenangkan, “tenang. Kamu
tidak melakukan kesalahan apapun.”
Aku tersenyum gugup, namun tetap saja,
sebaik apapun Kim sonsaengnim, dia tetaplah atasanku.
“Sebenarnya akhir-akhir ini kami mendengar
kabar dan aku ingin kamu mencari tau kebenarannya.”
“Baik, Kim sonsaengnim. Kabar apa itu?”
“Ada kabar yang mengatakan muridmu Chungdae
dan Suk Youngkyong berpacaran. Memang benar mereka sudah SMA dan legal saja
bagi mereka untuk berpacaran, tapi tidak di lingkungan sekolah. Maukah kamu
mencari tau soal ini?”
“Setau saya mereka adalah sahabat sejak
kecil.”
“Ya, tapi itu sebelum akil balik mereka
kan?” tanya Kim sonsaengnim sambil tertawa kecil.
“Baiklah, saya akan menanyakannya.”
***
Aku dan Eunyul eonni menghabiskan waktu
dengan makan siang bersama. Syukurlah karena dia mengajar kelas 4-6 di SD,
waktu istirahat siang murid-muridnya sama dengan murid-murid SMA dan hanya hari
Kamis aku tidak bisa makan siang dengannya (aku punya jam mengajar di SMP di
saat itu). Kami selalu menempati meja di pojokan yang tidak terlalu menarik
perhatian orang-orang.
“Baru seminggu sebagai wali kelas aku sudah
punya kerjaan.”
“Apa itu?” tanyanya dengan mulut penuh
dengan nasi goreng.
“Kim sonsaengnim menyuruhku mencari tau
apakah Chungdae dan Youngkyong berpacaran.”
“Wow, itu baru berita. Tapi mereka sejak
dulu kan sudah cukup akrab.”
“Itu dia. Aku tak yakin mereka berpacaran.”
“Lagi pula Youngkyong terlalu baik buat
Chungdae,” tukas Eunyul eonni sebelum menggigit paha ayam goreng dengan
lahapnya.
“Apa maksud eonni, apakah eonni menyindir
muridku? Apakah Chungdae begitu buruk?”
“Bukan begitu maksudku. Aku tau Chungdae
cukup populer, tapi bukannya Youngkyong ingin mencari yang lebih, dengan
popularitasnya itu?”
“Maksud eonni, dengan Min brothers misalnya?”
“Ya, siapa tau. Lagipula aku cukup jengkel
dengan peraturan sekolah yang satu ini. Biarlah anak SMA berpacaran sesuka
mereka, mereka sudah bisa diberi tanggungjawab, menurutku.”
“Aku setuju, eonni. Peraturan itu sudah terlalu
kuno dan perlu direvisi.”
No comments:
Post a Comment