Saturday, July 19, 2025

[NOVEL] I'm (Not) Allow to Love You [One.1/2] (Bahasa Indonesia ver.)

One

 

이게 마지막 내 자존심이라

This is the last bit of my pride


뻔하겠지만 내 얘길 들어줘

So it might sound typical but listen to my story


나는 변명 따윈 질색이지만

I hate giving excuses


널 놓치면 안 될 것 같아 난

But I don’t think I can lose you


어제 딴 여자와 밥을 먹었어

I ate dinner with another girl yesterday


니가 미워서 너무 미워서

Because I hated you, I hated you so much


니가 그 남자를 생각하는 게

Because I can see you


매일 난 눈에 보여서

Thinking of him everyday



삐뚤어지면 날 봐 줄까 봐

Maybe you’ll see me if I act badly


이렇게라도 니 관심을 돌려

I try to gain your attention like this


Dara dara dadada


I don't wanna let you go


어떡해야 널 가질 수 있니

What can I do to have you?

 

거짓말이라도 해봐 좀

At least lie to me


빈말이라도 잊겠다고

Even if you don’t mean it, tell me you’ll forget him


희망고문이라도 해봐

Even if it’s hope torture, do it


빈틈을 좀 보여줘

Show me some kind of flaw


내 자리는 어디도 없어

There is no spot for me


최소한의 숨이라도 쉬게 맘을 열어줘

Open your heart so at least I can breathe a little


(NU’EST – Love Without Love 사랑 없는 사랑)

 

Akhirnya aku kembali lagi kesini. Memang heran rasanya hanya berpisah selama satu setengah bulan, aku sudah merindukan tempat ini. Setelah lima tahun berlalu, kali ini aku bukan Kembali kesini sebagai seorang murid, tapi seorang guru. Aku dulu memang alumni SMA Hwachin. Ya, Hwachin School adalah sekolah yang terdiri dari departemen Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Ini adalah tahun pertama bagiku mengajar di sekolah ini, setelah aku lulus ujian untuk melamar jadi guru lima bulan yang lalu. Setelah lulus ujian, selama sisa semester genap, aku menjadi asisten guru untuk membiasakanku dengan system belajar mengajar di sekolah ini. Kali ini setelah tahun ajaran baru tiba, memang statusku masih belum menjadi guru tetap, aku masih menjadi guru kontrak dan harus berjuang setahun (jika beruntung) atau dua tiga tahun untuk mendapatkan status sebagai guru tetap, tapi setidaknya aku bukan seorang asisten guru lagi. Ya, jadi boleh dibilang pendapatanku tidak akan terlalu besar, tapi juga tidak terlalu buruk. Aku juga masih melanjutkan kuliahku untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa Inggris-ku yang dimulai bulan ini juga. Aku akan menjadi guru Bahasa Inggris di tingkat SMP dan SMA. Selain itu, aku juga ditugaskan untuk menjadi wali kelas 3B di tingkat SMA. Aku tegang? Ya, tentu saja, karena semua ini adalah pengalaman baru untukku: menjadi seorang guru dan wali kelas. Tapi harusnya aku bisa melakukannya dengan baik karena aku sudah kenal murid-murid ini sejak aku menjadi asisten guru beberapa bulan kemarin. Aku senang bisa mengamati perkembangan karakter mereka. Murid-murid SMA Hwachin rata-rata cukup dewasa, ramah dan tidak menyusahkan. Ya, harusnya segalanya akan baik-baik saja, kan? Aku ingin tidak khawatir, tapi… aku masih juga ragu. Apakah aku bisa menjadi guru yang baik? Apakah aku bisa menjadi wali kelas yang baik? Apakah aku bisa beradaptasi dengan baik?

“Choeun! Apa yang kaulakukan?” teriakan membahana disertai pukulan cukup keras mendarat di bahuku dan itu menyakitkan.

Aku menoleh dan mendapati Eunyul eonni-lah yang baru saja menghajarku. Dia boleh dibilang adalah rekan guru yang langsung akrab denganku, meski ini juga baru tahun keduanya mengajar di departemen SD. Tahun ini dia juga sudah mendapatkan status guru tetapnya. Dia adalah guru spesialis Pelajaran Seni Rupa. Meski kami mengajar di departemen yang berbeda, Eunyul eonni yang ceria berinisiatif untuk berteman denganku Ketika aku makan sendirian di kantin di hari pertama aku mengajar sebagai asisten guru. Dan anehnya, seperti berjodoh, akupun cepat akrab dengannya, meskipun kami berdua mengklaim diri sebagai seorang introvert. Tapi banyak orang bilang, Ketika para introvert berkumpul dan mereka merasa nyaman satu sama lain, maka mereka akan cepat akrab. Eunyul eonni sendiri enam tahun lebih senior dariku.

“Apa maksud eonni? Tentu yang kulakukan adalah berjalan ke ruang guru,” jawabku lugas.

“Ya, ya, tapi kau tidak sedang berjalan, tapi hanya berdiri di tengah lapangan.”

Aku melihat ke sekitarku dan baru tersadar bahwa aku benar-benar sedang berdiri di tengah lapangan sekolah kami, tampak bodoh, sementara murid-murid yang datang lebih awal ke sekolah dan melewati kami, sudah menyapa kami.

“Oh, ya ampun,” keluhku sambil mulai melanjutkan langkahku.

“Apakah kau tegang dengan posisi barumu tahun ini?” tanyanya tepat sasaran, “seorang guru dan seorang wali kelas?”

Aku mendesahkan nafas panjang, “ya, itu benar.”

“Oh ya, di kelas berapa kau akan jadi wali kelas? Siapa saja muridnya?”

“Aku lupa memberitau eonni, aku sudah dapat daftar muridnya dari bulan lalu.”

Aku menyerahkan ponselku padanya setelah membuka dokumen yang berisi nama murid-murid kelasku.

“Kau sudah pernah bertemu mereka juga kan, sebelumnya?” tanya Eunyul eonni sambil berjalan maju bersamaku, lalu dia tertawa, “kelasmu akan ramai. Siapa yang mengatur Heo Chungdae dan Sun Joonki menjadi sekelas? Oh, seingatku Min Dongsun tahun kemarin sudah satu kelas dengan Chungdae, kan? Tapi tenang, kau dapat  Dongsun dan Won Hyeil, kau bisa mengandalkan mereka.”

Aku tertawa gugup. Memang nama-nama itu sudah tidak asing di telingaku dan aku bisa membayangkan kelasku yang akan ramai nantinya. Eunyul eonni mengembalikan ponselku.

“Tenang, segalanya akan baik-baik saja, karena kau itu Baek Choeun, ingat?”

“Ya, kuharap begitu.”

“Baik, kita berpisah disini. Nanti kita bisa bertemu saat makan siang di kafetaria.”

Have a nice day eonni!” ujarku sambil melambai ke sosoknya yang masuk ke gedung departemen SD.

Gedung departemen SD adalah yang paling kiri dan cukup dekat dengan gerbang sekolah, sedangkan departemen SMP dan SMA ada di gedung paling kanan, yang berarti aku harus berjalan cukup jauh melewati gedung tengah yang merupakan gedung administrasi dan lantai dua dan tiganya berisi banyak laboratorium dan ruang kegiatan untuk siswa SD. Ruang guru ada di lantai satu di gedung SMP dan SMA dan aku yakin belum banyak guru yang datang, karena aku datang lima menit sebelum jam tujuh, sementara sekolah sendiri dimulai dari jam delapan. Jam belajar siswa SMP dan SMA selesai pada jam setengah lima sore, tapi banyak siswa yang bisa pulang di atas jam tujuh malam karena banyak kegiatan ekstra dan jam belajar mandiri yang harus mereka ikuti.

Miss Baek, good morning!

Aku kaget bukan kepalang karena ada yang tiba-tiba merangkulku sambil melangkah bersamaku.

“Heo Chungdae!” teriakku, terkejut.

“Ah sorry miss, apakah aku mengagetkanmu?” tanyanya sambil tersenyum lebar.

“Ini masih sangat pagi, apa yang kau lakukan disini?”

“Aku hanya terlalu semangat hari ini.”

Heo Chungdae, murid yang tadi dibahas Eunyul eonni bersamaku, adalah salah satu murid di kelasku tahun ini. Dia menjadi salah seorang murid yang menonjol karena tinggi badannya yang lebih dari 180 sentimeter. Dia tampan dan tampak selalu santai. Saking santainya, aku melirik pakaiannya yang tidak rapi, seperti biasanya.

“Tentu kau bukan semangat karena akan mulai belajar lagi kan?” tanyaku skeptis mengingat Chungdae bukan tipe kutu buku, “ngomong-ngomong, rapikan seragammu. Masukkan kemejamu dan perbaiki dasinya!”

“Tentu aku bukan semangat karena aku harus belajar lagi, miss. Aku hanya ingin mampir ke lapangan basket sebelum mulai pelajaran,” jawabnya sambil berjalan menjauhiku dengan melangkah mundur, “aku akan rapikan seragamku sesudahnya.”

“Jangan berkeringat pagi-pagi!” teriakku pada sosoknya yang sudah mulai menjauh.

“Jangan khawatir, aku bawa baju ganti miss!”

Dan setelah melambai, dia berlari begitu cepat menjauhiku. Dia memang selalu ceria dan sejauh yang kuketahui, dia tidak pernah stress dalam urusan akademis (ya, dia tidak khawatir tapi semua guru khawatir tentang itu, dia sering menjadi topik hangat di ruang guru). Satu hal yang menjadi hobinya adalah olahraga. Dia termasuk murid yang sangat hormat pada gurunya dan ramah pada semua orang. Tapi aku kaget, sejak kapan dia berani merangkulku? Apa karena dia semakin tinggi akhir-akhir ini sementara tinggi badanku hanya 160 cm?

***

Jam delapan setelah bel berbunyi adalah waktunya wali kelas menghabiskan waktunya bersama murid asuhannya selama lima belas menit jam sebelum jam belajar resmi dimulai. Biasanya wali kelas akan mengabsen para murid, mengobrol santai sekaligus memberikan informasi penting dan nasehat (bila perlu, tapi kurasa ini akan menjadi kewajibanku mengingat Chungdae dan Joonki ada di kelasku). Memeluk sebuah folder berwarna merah, aku perlahan melangkah menuju kelas 3B yang berada di lantai empat Gedung sekolah (aku akan cukup olahraga tiap hari). Aku melirik melalui jendela sepanjang koridor, tapi tirai menutupi jendela-jendela tinggi itu. Selain itu, aku tidak mendengar suara apapun. Apakah mereka semua kabur dari kelas? Dengan hati yang berdebar-debar karena tidak mau ada masalah yang terjadi di hari pertamaku, aku menggeser pintu kelas terbuka.

Welcome, Miss Baek!

Mendadak aku dihujani oleh konfeti dan murid-murid sudah bertepuktangan ceria menyambutku. Lenganku diapit oleh dua murid yang berikutnya kusadari adalah Chungdae dan Sun Joonki, yang keduanya dikenal sebagai seksi huru hara di sekolah, mereka mengapitku hingga ke meja guru di depan kelas, masih diiringi tepuktangan dan suara riuh rendah para murid. Mereka akhirnya melepasku dan aku bisa melihat kelas penuh dengan dekorasi balon dan pita, dan di belakangku, di papan tulis, ada tulisan besar welcome miss 초은 dan didekorasi indah sedemikian rupa. Won Hyeil si ketua Students Committee sudah membuka tirai yang menutupi jendela tinggi sepanjang koridor. Setelah beberapa lama, Min Dongsun si wakil ketua Students Committee mengangkat tangannya dan tepukanpun berhenti. Aku tersenyum sambil melihat muridku satu persatu. Mereka masih ceria seperti yang selalu kuingat: Chungdae secara mengejutkan duduk di meja paling depan (aku tak ingat pernah melihatnya duduk di barisan depan seumur aku mengenal dia) masih memegangi sisa konfeti di tangannya; di pojok belakang Dongsun duduk, hanya karena dia tidak mau tinggi badannya menghalangi pandangan teman-temannya; Joonki duduk di barisan tengah, memakai sejenis topi kerucut untuk pesta ulangtahun; Jeon Yeowoo si tomboy cantik duduk di depan Dongsun dan dia masih tersenyum lebar. Hyeil duduk di sudut kelas yang satunya, tersenyum lebar juga. Aku tertawa karena tak yakin kalimat mana yang harus kuucapkan dulu.

“Kalian…sejak kapan kalian menyiapkan ini?” tanyaku masih sambil tersenyum lebar.

“Tadi pagi! Kami harus mengendap saat melewati ruang guru, bahkan Joonki rela naik lewat tangga paling ujung supaya miss tidak melihat dia datang,” lapor Yeowoo.

“Tunggu, jadi tadi pagi…” aku melirik Chungdae.

I didn’t play basketball, miss. I’ve lied to you,” ujar Chungdae sambil tersenyum lebar.

How dare you to lie to me?” tanyaku pura-pura marah.

It’s okay miss, it’s a white lie.”

Jawaban Chungdae membuat seisi kelas tertawa.

“Semua ini ide Chungdae, miss, kami hanya menjalankan rencananya,” lapor Joonki.

Aku menaikkan sebelah alisku skeptis. Memang Chungdae ini seksi huru hara tapi aku tak menyangka dia sampai menyiapkan kejutan untuk menyambutku. Namun setelah namanya disebut, dia makin bangga dan berdiri sambil mengucapkan terimakasih kepada teman-teman di sekitarnya sambil menepuk dadanya. Dia memang masih anak-anak.

“Ya, ya, baiklah, terimakasih banyak Chungdae.”

“Apapun untukmu miss,” balasnya sambil membungkukkan badannya, dengan tangan kanannya di dada dan tangan kirinya dilambaikan rendah seolah memberi salam kepada keluarga kerajaan Inggris.

Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku melihat kekonyolannya.

“Baik, baik, karena ini hari pertama di tahun ajaran, mari kita pilih perangkat kelas sekarang,” ujarku berusaha mengontrol suasana kelas sambil menepuk tanganku, “kita harus pilih ketua kelas kita.”

“Hyeil dan Dongsun!” teriak Yeowoo paling keras.

“Ah no no please not us again,” tolak Hyeil sambil tertawa dan melambaikan kedua tangan di depan dadanya.

“Tolong bebaskan kami, kami masih menjabat ketua dan wakil ketua Students Committee sampai akhir semester ini,” ujar Dongsun sambil setengah memohon.

Sudah kuduga mereka pasti akan memilih Hyeil dan Dongsun karena sejak SD, kudengar, mereka selalu bisa diandalkan. Maka tidak mengherankan mereka memegang tahta tertinggi para murid saat ini di Students Committee.

“Bagaimana kalau Joonki?” tawarku sambil menunjuk Joonki dengan ujung spidol.

“Jangan miss! Bagaimana kalau Chungdae saja?” balas Joonki sambil menunjuk Chungdae.

Suasana ramai lagi, tapi herannya, Chungdae tidak menunjukkan penolakan yang berarti. Dia banyak berubah. Atau… akhir-akhir ini dia salah makan?

***

Aku sudah menduga seminggu pertama di tahun ajaran akan berat untukku, sudah empat hari belakangan aku pulang jam delapan malam ketika murid yang belajar mandiri juga sudah mulai pulang. Aku menggerakkan leherku yang pegal sambil tangan kananku menjinjing laptopku. Aku tidak suka membawa pekerjaan pulang, tapi aku tidak punya banyak pilihan. Memikirkan aku masih harus berjalan sekitar lima menit menuju stasiun subway membuat langkahku berat.

Miss, let me help you,” seketika ada yang mengambil laptop dari tanganku.

Aku nyaris berteriak, kukira ada perampok di lingkungan sekolah. Tapi rupanya itu hanya Min Donghyun, yang terlihat agak berkeringat.

“Oh Donghyun, you haven’t go home yet?” tanyaku setelah mampu menguasai diriku.

Donghyun adalah adik Dongsun. Min brothers memang sangat populer di sekolah, aku tak tau siapa yang punya fans lebih banyak di antara keduanya. Jika mau dibilang apa yang menarik tentang mereka, mereka punya cukup banyak persamaan, tapi aku tetap merasa ada pesona yang berbeda pada mereka. Sementara Dongsun boleh dikatakan hampir sempurna (nilai akademis hampir sempurna, dia cukup jago dalam olahraga, dan mahir memainkan gitar) maka dia terpilih sebagai wakil ketua Students Committee; Donghyun tidak begitu serius dalam belajar (meski semua guru yakin dia cerdas) dan dia juga jago berolahraga (dia kapten tim sepakbola sekolah dan masuk juga dalam tim basket). Secara fisik, mereka hampir sama tingginya, meskipun ada yang mengatakan Donghyun sedikit lebih pendek, hanya satu dua sentimeter. Kalau soal ketampanan, banyak orang sulit memilih dan akupun begitu pada awalnya.

Well, I’m just done with my basketball club,” jawab Donghyun.

“Dimana Dongsun? Kalian tidak pulang bersama?”

“Dia sudah duluan karena akan belajar kelompok, katanya.”

“Wow, seperti yang kita harapkan dari seorang wakil ketua Students Committee.

“Kita bisa ke stasiun subway bersama-sama, miss.”

“Baiklah, itu ide yang baik.”

Kami bersama-sama melangkah di keheningan malam. Memang tidak banyak keramaian di lingkungan sekitar sekolah kami, apalagi pada waktu malam begini. Biasanya orang-orang yang lewat hanya murid SMA Hwachin.

Miss, actually I feel disappointed.

Why?

“Kenapa bukan miss yang menjadi wali kelas kami?” tanya Donghyun.

Aku menoleh pada Donghyun dan melihat wajahnya yang cemberut. Sungguh lucu bagaimana seorang murid SMA kelas dua masih bisa cemberut hanya karena masalah kecil seperti ini.

“Oh, kukira apa,” tawaku ringan, “aku juga tidak tau. Ini keputusan kepala sekolah.”

“Pasti akan lebih menyenangkan kalau kami dapat miss. Ini bukan karena pilihan miss kan?”

No. Trust me I’m just following order from my boss.”

But at least you’re still our English teacher.”

Yes, don’t worry I’ll still teach your class.

Kami tertawa kecil dan terus berjalan menuju stasiun subway. Perjalanan yang menjadi menyenangkan. Bagaimana tidak, aku ditemani murid yang tampan ini.

***

Miss Baek.”

“Oh ya, Kim sonsaengnim.”

“Bisa kita bicara sebentar?”

Mau tidak mau aku gugup juga dipanggil begini oleh Kim sonsaengnim, wanita di awal umur 30-an yang merupakan kepala guru SMA, atasanku langsung di departemen SMA. Aku mengikutinya melangkah menuju mejanya di pojok ruangan. Dia mempersilahkan aku duduk di hadapannya.

Dia tersenyum menenangkan, “tenang. Kamu tidak melakukan kesalahan apapun.”

Aku tersenyum gugup, namun tetap saja, sebaik apapun Kim sonsaengnim, dia tetaplah atasanku.

“Sebenarnya akhir-akhir ini kami mendengar kabar dan aku ingin kamu mencari tau kebenarannya.”

“Baik, Kim sonsaengnim. Kabar apa itu?”

“Ada kabar yang mengatakan muridmu Chungdae dan Suk Youngkyong berpacaran. Memang benar mereka sudah SMA dan legal saja bagi mereka untuk berpacaran, tapi tidak di lingkungan sekolah. Maukah kamu mencari tau soal ini?”

“Setau saya mereka adalah sahabat sejak kecil.”

“Ya, tapi itu sebelum akil balik mereka kan?” tanya Kim sonsaengnim sambil tertawa kecil.

“Baiklah, saya akan menanyakannya.”

***

Aku dan Eunyul eonni menghabiskan waktu dengan makan siang bersama. Syukurlah karena dia mengajar kelas 4-6 di SD, waktu istirahat siang murid-muridnya sama dengan murid-murid SMA dan hanya hari Kamis aku tidak bisa makan siang dengannya (aku punya jam mengajar di SMP di saat itu). Kami selalu menempati meja di pojokan yang tidak terlalu menarik perhatian orang-orang.

“Baru seminggu sebagai wali kelas aku sudah punya kerjaan.”

“Apa itu?” tanyanya dengan mulut penuh dengan nasi goreng.

“Kim sonsaengnim menyuruhku mencari tau apakah Chungdae dan Youngkyong berpacaran.”

“Wow, itu baru berita. Tapi mereka sejak dulu kan sudah cukup akrab.”

“Itu dia. Aku tak yakin mereka berpacaran.”

“Lagi pula Youngkyong terlalu baik buat Chungdae,” tukas Eunyul eonni sebelum menggigit paha ayam goreng dengan lahapnya.

“Apa maksud eonni, apakah eonni menyindir muridku? Apakah Chungdae begitu buruk?”

“Bukan begitu maksudku. Aku tau Chungdae cukup populer, tapi bukannya Youngkyong ingin mencari yang lebih, dengan popularitasnya itu?”

“Maksud eonni, dengan Min brothers misalnya?”

“Ya, siapa tau. Lagipula aku cukup jengkel dengan peraturan sekolah yang satu ini. Biarlah anak SMA berpacaran sesuka mereka, mereka sudah bisa diberi tanggungjawab, menurutku.”

“Aku setuju, eonni. Peraturan itu sudah terlalu kuno dan perlu direvisi.”

***

No comments:

Post a Comment

[NOVEL] Kim Soyoon and The Legendary Wand [2.2/2] [English ver.]

CHAPTER 2 YOORA SCHOOL OF WITCHCRAFT AND WIZARDRY “…up, Soyoon, Pornthip, we are almost there.” I opened my eyes and let out a big yawn when...