이게 마지막 내 자존심이라
This is the last bit of my pride
뻔하겠지만 내 얘길 들어줘
So it might sound typical but listen to my story
나는 변명 따윈 질색이지만
I hate giving excuses
널 놓치면 안 될 것 같아 난
But I don’t think I can lose you
어제 딴 여자와 밥을 먹었어
I ate dinner with another girl yesterday
니가 미워서 너무 미워서
Because I hated you, I hated you so much
니가 그 남자를 생각하는 게
Because I can see you
매일 난 눈에 보여서
Thinking of him everyday
삐뚤어지면 날 봐 줄까 봐
Maybe you’ll see me if I act badly
이렇게라도 니 관심을 돌려
I try to gain your attention like this
Dara dara dadada
I don't wanna let you go
어떡해야 널 가질 수 있니
What can I do to have you?
거짓말이라도 해봐 좀
At least lie to me
빈말이라도 잊겠다고
Even if you don’t mean it, tell me you’ll forget him
희망고문이라도 해봐
Even if it’s hope torture, do it
빈틈을 좀 보여줘
Show me some kind of flaw
내 자리는 어디도 없어
There is no spot for me
최소한의 숨이라도 쉬게 맘을 열어줘
Open your heart so at least I can breathe a little
(NU’EST – Love Without Love 사랑 없는 사랑)
Sudah hampir jam delapan malam Ketika aku mengatur
pertemuanku dengan Chungdae. Kebetulan juga, aku menjadi guru jaga di sesi
belajar mandiri malam ini, jadi tidak masalah bagiku sekalian menunggui
Chungdae. Anak itu terlalu aktif di kegiatan club sampai aku tak yakin dia ada waktu
buat belajar di rumah. Ruang guru sudah sepi saat itu, Kim sonsaengnim pulang
hampir 40 menit yang lalu, jadi aku akan menjadi guru terakhir yang pulang hari
ini. Terdengar ketukan di pintu dan sejenak kemudian sosok Chungdae melangkah
masuk. Aku melambai padanya, mengisyaratkannya untuk mendekat.
“Hi miss,” sapanya ceria sambil berdiri di
depan pintu.
“Come
sit in front of me,” ujarku.
Dia memakai kaos berwarna ungu muda yang bersimbah
keringat dan rambutnya terlihat berantakan. Di tangannya dia memegang
seragamnya yang dilipat asal saja.
“Kau harus segera ganti baju atau mandi
sebelum pulang. Kau bawa baju ganti yang lain?”
“Wow miss
sangat perhatian padaku.”
“Aku perhatian pada semua muridku, jadi kau
tidak perlu salah paham. Ngomong-ngomong berita apa ini yang kudengar kalau kau
dan Youngkyong berpacaran?”
Chungdae malahan tersenyum lebar, “berita
itu sudah sampai ke telinga guru?”
“Jadi berita itu benar?”
“Untuk sementara yang bisa kukatakan
adalah, kurasa kami saling mencintai.”
Aku memutar bola mataku, “apapun itu,
pastikan kalian tidak berpacaran di lingkungan sekolah. Kalian tau peraturan
sekolah tidak mengizinkan kalian berpacaran.”
“Don’t
worry miss, if we do, we’ll be extra careful.”
“Yes,
for me, I really don’t mind it,” ujarku membuat Chungdae terlihat kaget, “what I mean is, oh come on, you’re on the
age already. I think it’s okay to date someone. But as you know you gonna break
the rules and we gonna be in trouble, just be careful.”
“That’s
it! That’s why I really like you, miss!” seru Chungdae girang.
“Now
you need to go home, it’s late.”
Chungdae bangkit dari kursinya, “thank you miss. Please go home safely or
I’ll be sad.”
“I’m
not a kid so don’t worry about me.”
Chungdae berlarian menuju pintu.
“Change
your clothes!”
“Alright,
alright, miss! Aku akan mengganti
bajuku sebelum pulang!”
“And
good luck!”
Aku tertawa saat Chungdae memberikanku
salam saranghae dengan kedua jarinya
sebelum dia benar-benar pergi. Bocah itu, aku tak yakin dia sudah cukup dewasa
untuk berpacaran.
***
“YA TUHAN!”
Aku baru melewati pelataran loker anak SMA
ketika aku mendengar teriakan itu disertai suara gemuruh benda berjatuhan di
menit berikutnya. Takut sesuatu yang buruk terjadi, aku berjalan cepat ke arah
suara gemuruh tadi.
“Seperti yang diharapkan dari seorang
Youngkyong,” ujar Chinye sambil tertawa, “selalu terjadi setiap tahun kan?”
Rupanya suara gemuruh tadi disebabkan oleh
puluhan bungkus coklat yang berjatuhan dari loker Youngkyong saat dia
membukanya. Oh, ada beberapa tangkai bunga, buket bunga yang dijejalkan
sedemikian rupa dan bahkan beberapa helai surat di lantai. Youngkyong hanya
bisa mendesahkan nafas panjang saat dia mulai memunguti barang-barang itu.
“Aku bisa sakit diabetes kalau aku makan
semua coklat ini. Ambil sebanyak yang kau suka, Chinye,” pinta Youngkyong.
“Oh tidak bisa. Mereka memberikannya
untukmu, bagaimana mungkin aku yang memakannya,” ujar Chinye sambil membantu
Youngkyong membereskan barang-barang yang berjatuhan itu, “kurasa untuk
menghentikan semua ini, kau harus mulai pacaran dengan seseorang. Dengan resmi,
maksudku.”
“Apa kalian baik-baik saja? Atau butuh
bantuan?” tanyaku sambil melangkah mendekat.
“Ah we’re
fine miss, don’t worry,” jawab Chinye sambil berdiri sejenak.
“Wow! Coklat! Boleh untukku?” Chungdae
mendadak muncul dari belakangku dan membuat suasana riuh.
“Ambil saja, tapi bantu kami bereskan,”
pinta Youngkyong, menjejalkan banyak batang coklat ke pelukan Chungdae.
Aku menggelengkan kepala dan beralih ke
lorong loker guru SMP & SMA di sebelah loker siswa. Aku baru ingat hari ini
Valentine’s Day, pantas banyak pernak
pernik romantic dijual di mana-mana akhir-akhir ini. Valentine… coklat. Ah aku sudah lupa kapan terakhir kali aku
merayakan Valentine dengan seorang
pacar. Kurasa ini tahun ketigaku merayakan Valentine’s
Day sendirian. Ah sudahlah, itu tak penting. Betapa terkejutnya aku ketika
aku membuka lokerku, ada sesuatu yang berbulu coklat jatuh keluar. Kuambil benda
itu dan ternyata adalah sebuah boneka anjing yang berukuran setengah lokerku.
Aku kebingungan, siapa yang memberiku boneka? Lalu kusadari ada sebatang coklat
juga di dalam lokerku, ada kartu kecil dan di dalamnya ada tulisan “Happy Valentine’s Day, Miss Baek”
terketik rapi di dalamnya. Tak ada nama pengirim. Siapa yang memberiku hadiah?
Keheranan, aku hanya meninggalkan kedua benda itu di lokerku lagi, hingga aku
mengambilnya kembali pada saat pulang kerja. Siapapun itu yang memberikannya
kepadaku, terima kasih. Bonekanya lucu, tak akan kutinggalkan disitu. Dan aku
suka coklat. Jadi, akan kuambil daripada mubazir.
***
“Ah, aku Lelah…”
Aku berjalan lunglai menuju apartemenku.
Akhir-akhir ini kerjaan mengoreksi tugas dan test murid-murid mulai menumpuk lagi. Inilah yang terjadi jika kamu
mengajar 10 kelas sekaligus. Aku lapar tapi malas sekali rasanya mencari makan
malam. Aku hanya ingin tidur. Ah, lampu jalan dekat apartemen rusak lagi. Aku
tidak tau harus melapor ke siapa atau adakah orang yang pernah melaporkan
tentang ini. Aku akan cari tau di internet. Tunggu, mendadak perasaanku tidak
enak… aku mendengar sejak aku keluar dari stasiun subway tadi ada yang mengikuti langkahku… aku menoleh. Tak ada
siapapun. Suasana sepi dan agak gelap. Aku tidak takut pada hal mistis, yang
kutakutkan justru manusia, karena kelakuan manusia bisa lebih kejam daripada
setan. Mungkin hanya perasaanku saja karena aku lelah. Aku terus berjalan, tapi
sedikit lebih cepat. Dan aku mendengar langkah-langkah itu lagi. Aku menoleh
lagi dan tak ada siapapun lagi. Ini tidak beres. Aku memutuskan untuk berlari
tapi detik berikutnya aku menabrak sesuatu dan terjatuh.
“Miss Baek!”
Aku menemukan diriku duduk di jalanan dan
sesuatu, maksudku seseorang, yang baru saja kutabrak rupanya Donghyun.
“Min Donghyun?”
“Maafkan aku, miss, apa miss baik-baik
saja?”
Dia mengulurkan kedua tangannya dan
membantuku berdiri. Sial, ini memalukan sekali. Aku berusaha menepuk celanaku
dan berdeham. Donghyun masih mengenakan seragamnya dengan rapi, dan masih
membawa tas punggungnya yang besar.
“What
are you doing here? It’s late…”
“Ah, I’ve
just visited my uncle. His house is at the apartment complex over there,”
jawab Donghyun sambil menunjuk ke apartemen di sebelah gedung apartemenku, “and what about miss? You kinda look scared.”
Akan memalukan kalau kuceritakan apa yang
baru kualami. Aku takut aku hanya paranoid saja.
“Aku… ini gedung apartemenku. Ya, aku akan
pulang,” aku tertawa gugup sambil menunjuk gedung apartemenku.
“Ayo miss,
kutemani sampai ke depan.”
“Kau tidak perlu melakukan itu, ini sudah
malam, kau harusnya pulang. Lagipula aku hanya tinggal jalan beberapa meter
lagi.”
“Justru karena ini sudah malam. Orangtuaku
mengajarkan kami untuk menemani perempuan dan mengantar mereka sampai ke depan
tempat tinggal mereka.”
Belum selesai aku mencerna kata-katanya,
Donghyun perlahan melepas tas
punggungku dari punggungku dan menyampirkan di bahunya yang masih
lowong. Bahu sebelahnya untuk dia membawa tas punggung dia
sendiri. Pasti dia langsung kesini setelah pulang sekolah.
Aku tersenyum padanya, “baiklah. Thanks Donghyun.”
“Not
a big problem, miss.”
Dan aku tidak mendengar langkah apapun lagi
hingga aku masuk dengan selamat ke dalam apartemenku. Mungkin semua itu hanya
halusinasiku.
***
“Min
Donghyun!”
Donghyun menolehkan kepalanya dan berhenti
sejenak dari kesibukannya mengobrol dengan Chinye.
“Ya, miss?”
“Lihat hasil test-mu!”
Aku mengangkat kertas tesnya yang baru saja
kutulis angka 97 dengan pena merah di pojok kanan atasnya.
“TIDAK! KUKIRA AKU DAPAT 100, DIMANA
KESALAHANNYA?” Donghyun berteriak dan berlarian untuk mengambil kertas dari
tanganku, lalu memandanginya dengan tidak percaya.
“Wow, tenang, Donghyun!” seru Youngkyong
sambil tertawa.
“Tapi nilai itu sudah sangat baik,
Donghyun, you’ve made my day!”
Donghyun tersenyum lebar dan ada semburat
kemerahan di pipinya saat dia duduk kembali, dengan mata masih memandangi
kertasnya.
“Okay,
I’ll see you again next Tuesday, please don’t forget to make progress on your
project.”
“Thank
you miss!” balas seluruh murid di kelas 2A setelah mereka berdiri.
Aku berjalan keluar dari kelas 2A dengan
senyum lebar. Benar, Donghyun baru saja membuatku sangat senang. Aku memang
meminta tips dan data dari Mr Go, yang sebelum ini mengajar Bahasa Inggris di
SMA (yang di semester kemarin menjadi mentorku) tentang para murid SMA yang
kelak akan menjadi muridku. Aku ingat tentang Donghyun yang nilai ujiannya
sangat jarang yang bisa melampaui 80, bahkan tahun kemarin dia sempat mendapat
satu kali retest karena nilai
ujiannya di bawah 60. Tapi nilai ujiannya yang pertama sejak dia di naik kelas
2 ini sangat membuatku puas. Mungkin dia belajar dengan giat, atau Dongsun
membantunya belajar. Tapi setauku Dongsun jarang membantu adiknya sendiri
belajar. Ya, sebenarnya, aku mengenal mereka jauh sebelum aku mulai mengajar di
sekolah ini.
“Miss!”
Aku mengenal itu suara Donghyun, jadi aku
menoleh, masih tersenyum lebar. Rupanya dia mengikutiku keluar kelas.
“Miss,
I promise you that I’ll get 100 in the next test!”
Aku tersenyum semakin lebar, “I already happy to see that you want to try
harder, Donghyun.”
“No,
miss. I want to do more than that. I wanna make you happy.”
Aku memberikannya jempolku sebagai
persetujuan dan itu membuatnya juga tersenyum lebar. Bayangkan jika kalimat itu
bukan diucapkan oleh seorang murid ke gurunya, apalagi ke aku, aku pasti akan
bahagia dan terbang ke langit. Mana ada pria yang mengatakan hal itu kepadaku. Well, ada sih, tapi kalimat itu terasa
klise untukku, sebuah omong kosong. Tapi rasanya berbeda mendengarnya diucapkan
oleh seorang Min Donghyun.
***
Beda Donghyun, beda juga dengan Chungdae.
Kami kembali menghabiskan waktu berdua di ruang guru pada jam 6 sore. Ini
karena dia gagal dalam ujian Bahasa Inggris dan dia harus melakukan retest. Aku hanya bisa menggelengkan
kepala saat aku membiarkannya duduk di meja di sampingku untuk mengerjakan retest-nya.
“When
will you become serious with your English score, Chungdae ya?” tanyaku
heran karena nilai ujiannya yang aku saja malu menyebutkan nilainya.
“It’s
just because English is too hard for me, Miss. I really hope you can teach us
Korean instead.”
Terlalu banyak alasan. Menurutku bahasa
Inggris Chungdae sudah sangat baik untuk digunakan dalam conversation, tapi dia benar-benar lemah dalam segala hal teoritis.
“Miss,
can I look at the dictionary?” tanyanya
mendadak, baru saja kami berhenti ngobrol selama lima menit.
“No.”
“Pretty please.”
“I said no, Heo Chungdae.”
Aku menoleh dan melihatnya cemberut dan itu
membuatnya terlihat sangat imut. Oh tidak, apa dia sedang berusaha membujukku
dengan menggunakan aegyo? Aku memutar bola mataku, meskipun aku berusaha
menahan tawaku.
“Sekali
aku bilang tidak, kau tau itu akan selalu menjadi ‘tidak’ untukku kan,
Chungdae? Kau tau aku, kan?”
“Baiklah,
miss,” keluh Chungdae.
Lima menit berikutnya hanya terdengar
goresan pena dan gumaman Chungdae saat dia membaca soal ujiannya.
“Miss,
mau tau sesuatu?”
“Fokus ke kertas ujiannya.”
“Tentang kenapa nilai ujianku tidak lulus?”
pancing Chungdae.
Aku menolehkan kepalaku, baiklah ini cukup
penting. Sial, aku terpancing.
“Kenapa?”
“Karena aku ingin mendapat retest dan berduaan dengan miss.”
Sambil mengatakan itu, Chungdae tersenyum
lebar. Jika dia bukan muridku, pasti sudah kupukul kepalanya. Aku menahan
keinginanku untuk memukul kepalanya dengan kotak pensilku yang isinya penuh
itu.
“Berkonsentrasilah sekarang,
berkonsentrasi!”
“Baik miss,
jangan marah. Miss tidak cantik lagi
kalau marah begitu,” ujar Chungdae, masih tersenyum lebar.
Aku melotot padanya, tapi gagal terlihat
tegas karena ujung bibirku tertarik ke atas membentuk senyum yang setengah mati
kutahan.
“Heo Chungdae…”
“Baik, miss!”
Mengapa kelas 3A memiliki ketua kelas yang
seperti ini?
***
HEO CHUNGDAE’S POV
Dua puluh satu… dua puluh dua… dua puluh
tiga… dua puluh empat. Hanya segini?
“Ya, Chungdae, kau dapat berapa tahun ini?”
tanya Joonki dari ujung lorong loker.
“Kau dapat berapa?”
“21. Jangan katakan kau dapat lebih sedikit
dari aku. Kalau iya, kau harus traktir aku.”
“Aku dapat 24. Aku dapat lebih banyak 2
dari tahun kemarin,” kataku, agak berteriak karena Lorong loker agak ramai.
“Itu tetap menyedihkan, aku ketambahan 5
lho.”
Kupukul punggung Joonki keras. Sial, apa
yang membuat popularitasku tidak meningkat tahun ini? Ya, hari ini adalah White Day dimana biasanya wanita
memberikan coklat atau hadiah ke pria yang disukainya, tapi kadang hari ini
diartikan juga sebagai hari dimana pria membalas coklat atau hadiah yang
diterima mereka saat Valentine’s Day
bulan kemarin. Well dibandingkan aku
yang hanya memberikan 2 coklat pada Valentine’s
Day kemarin, aku tidak rugi. Sementara tak jauh dari lokerku, Dongsun
memasukkan semua coklat ke kantong yang dibawanya, dan di sebelahnya, Donghyun
melakukan hal yang sama.
“Kalian dapat berapa?” tanyaku iri.
“Aku tak menghitung. Kalian mau
menghitungnya untukku?” tawar Dongsun.
“Mau, aku bantu hitung,” jawab Joonki, yang
selalu ingin tau dengan urusan orang lain.
“Kurasa aku dapat 32,” ujar Donghyun, “dan
ada satu surat. Aku takut membaca isinya.”
“Sini kubacakan,” tawarku berusaha merebut
surat itu dari tangan Donghyun.
“Tidak, nanti akan hyung teriakkan ke
seluruh sekolah, kan?”
Aku nyengir lebar. Sudah kuduga
popularitasku akan selalu di bawah Min brothers.
“Aku dapat 21, sama dengan Joonki,” ujar
Hyeil dari loker yang paling bawah, yang akhirnya berdiri sambil mengangkat
kantong penuh hadiah.
“Hyeil, kurasa kau harus segera melepas
masa jomblo sebelum kelulusan sekolah,” saranku.
“Tidak ada perempuan yang kusukai,”
jawabnya santai, merapikan penampilannya di depan cermin, “saran yang sama
kukembalikan padamu, Chungdae.”
“Dongsun dapat 51!” teriak Joonki
membahana, “kalau ditotal dengan surat dan bunga dan boneka semuanya ada 73.
Selamat membawa pulang semuanya, Dongsun.”
Donghyun, Joonki dan Hyeil sibuk menepuk
punggung Dongsun seolah dia baru saja memenangkan piala kejuaraan sepakbola.
Mungkin aku akan populer kalau Dongsun sudah lulus nanti. Ah tapi kita akan
lulus bersama, kenapa aku begitu bodoh? Aku mengecek perolehan coklatku sekali
lagi. Yang kucari disitu tidak ada.
“Jangan sedih begitu Chungdae, kau mau
coklatku? Nih, akan kurelakan satu,” ujar Joonki sambil menepuk punggungku.
“Diam kau! Bukan itu maksudku!” ujarku
sambil menepuk punggungnya balik, tapi dengan kekuatan yang dua kali lipat
lebih besar.
“Dia mungkin menunggu coklat dari
Youngkyong,” tebak Dongsun tepat sasaran, “tidak ada?”
Ah, sial. Dongsun selalu bisa menebak jalan
pikiranku.
“Pasti tidak ada,” ujar Joonki sambil
tersenyum lebar, senyum yang menyebalkan.
“KAU MAU MATI YA!”
***
HEO CHUNGDAE’S POV
Sebenarnya Joonki dan Dongsun benar. Aku
sedang memikirkan kenapa Youngkyong tidak memberiku coklat. Aku sebenarnya agak
khawatir. Apakah ini hanya cinta yang bertepuk sebelah tangan? Tapi dia
memperlakukanku dengan sangat berbeda tiga bulan terakhir ini. Sebenarnya ini
salahku kenapa tidak mengungkapkan perasaanku dengan tulus dan memintanya
secara resmi untuk menjadi pacarku. Aku tidak punya keberanian untuk itu. Pasti
rasanya lucu kan? Heo Chungdae yang tidak pernah takut apapun dan merupakan goalkeeper utama di tim sepakbola
Hwachin School dan kami baru saja memenangkan piala turnamen sepakbola antar
SMA di Seoul tahun kemarin, ternyata takut dengan perempuan. Suk Youngkyong
memang sangat cantik. Aku mengenalnya sejak 5 tahun yang lalu semenjak dia pindah
ke Seoul. Apartemennya hanya berjarak satu stasiun subway dari apartemen kami dan karena orangtua kami (dan orangtua
Min Brothers) saling mengenal, kami sering main bersama. Sekali lagi
kukatakan, dia sangat cantik, dan dia sudah mulai terkenal. Followers Instagram dia cukup banyak
karena sejak empat bulan yang lalu dia mempertimbangkan untuk mengiklankan
beberapa aksesoris untuk anak remaja. Sebenarnya aku agak sedikit kurang
percaya diri, tapi akhir-akhir ini dia sering menghabiskan waktu berdua denganku.
Kami juga sudah dua kali keluar hanya berdua, mungkin bisa disebut kencan.
“Aku lelah, aku mau pulang,” ujar Hyeil
setelah aku memberinya smash yang
tidak bisa dibalasnya.
“Oh, aku melakukan itu?”
“Hanya karena aku sudah lelah,” pungkas
Hyeil, “kau mau bereskan ini?”
“Ya, tak apa, biar aku bereskan saja,”
putusku, karena aku juga butuh waktu untuk berpikir.
“Sampai ketemu besok.”
“Bye!”
Aku memasukkan kok yang berserakan ke
tempatnya. Sepertinya aku terlalu banyak termenung. Apa aku harus tanya
pendapat Joonki? Ah kurasa dia hanya akan menertawakanku. Bagaimana dengan
Yeowoo? Ah tapi dia terlalu akrab dengan Youngkyong, nanti dia membocorkannya.
Mungkin aku bisa percaya pada Hyeil? Meski dia tidak punya pengalaman apapun
soal berpacaran… Bagaimana dengan Miss
Baek? Ah benar, sepertinya dia sangat enak diajak bicara dan aku nyaman berada
di dekatnya. Tapi masalahnya, apakah dia mau mendengarkan masalah seperti ini?
“Ini untukku?”
Secara otomatis aku menyembunyikan diriku
di belakang pohon yang sangat besar di sebelahku. Ada Youngkyong disana, di
Tengah taman sekolah, memegang kantong berwarna hijau yang dililit dengan pita
berwarna pink, dan dia menyerahkan kantong itu ke hadapan… Dongsun?
Youngkyong menganggukkan kepalanya, “ya,
untuk oppa.”
“Ah, tapi Youngkyong…”
“Tolong jangan menolakku.”
Aku tidak sanggup melihat ini. Berbalik dan
memutar tubuhku, aku berjalan menjauh dari taman sekolah, membawaku melangkah
lebih jauh dari arah pulang.
“Oppa! Oppa!”
Aku tersadar saat Youngkyong menyenggol
lenganku.
“Oh ya, Youngkyong?”
“Apa yang oppa lakukan disini sendirian?”
Aku baru sadar bahwa aku duduk di bangku
dekat stadion olahraga indoor kami sendirian. Entah sudah berapa lama
aku duduk disini, senja sudah tiba.
“Ayo kita pulang Bersama.”
“Oh ya, ayo. Aku akan mengambil tasku dan
mengembalikan raket ke loker dulu.”
“Ayo, sama-sama kesana.”
Apa yang kulihat tadi hanya halusinasi? Aku
ingin bertanya pada Youngkyong, tapi aku tak punya cukup keberanian.
Youngkyong, apakah kau memiliki perasaan untukku, meski itu hanya sedikit?
“Untuk oppa.”
Dia mendorong kantong kecil berwarna putih
ke dadaku.
“Ini…”
“Coklat untuk oppa. Sebagai balasan coklat
kemarin waktu Valentine.”
Dia tersenyum, cantik sekali. Tapi aku
sedang tidak bisa berpikir. Pikiranku sangat terganggu saat ini.
No comments:
Post a Comment