CHAPTER 3 THE FIRST WEEKEND
Aku membuka mataku ketika aku merasa ada Cahaya matahari menembus kelambuku. Butuh beberapa detik bagiku untuk sadar kalau aku ada di kamar di Yoora School. Rasanya seperti mimpi saja karena kemarin aku masih tidur di kamarku di Itaewon. Angin sepoi-sepoi berhembus ke kelambuku yang berwarna kuning lembut, luar biasa sekali jendela tersihir ini. Rupanya ada yang menurunkan kelambuku karena semalam aku ingat aku ketiduran begitu saja. Ah benar, Youngmin. Bisakah aku bertemu dengannya pagi ini? Aku agak khawatir dengannya. Aku segera duduk dan turun dari ranjangku. Perhatianku tertuju pada jam kuno di dinding yang menunjukkan jam tujuh lewat lima menit. Aku bangun cukup pagi rupanya, tapi semua teman sekamarku rupanya sudah bangun. Bagaimanapun aku tetap menjadi yang terakhir.
“Yuhuuu ini menyenangkan sekali!”
Pornthip baru saja muncul di kamar, dan sejurus kemudian Jiwoo juga muncul.
“Pornthip, kau bisa membangunkan Soyoon dengan suaramu,” Hardik Jiwoo.
“Tapi Soyoon sudah bangun.”
“Selamat pagi,” aku nyengir pada mereka berdua, “lagi apa kalian?”
“Selagi menunggumu bangun, kami sudah mandi dan mencoba meluncur di lubang supaya lancar. Tapi kami baru berani turun ke Tingkat dua dan enam saja karena mereka juga sudah bangun semua,” jelas Jiwoo, “menyenangkan sekali meluncur dan tersedot di lubang. Kau harus coba.”
“Tapi mungkin sesudah sarapan? Ingat, kita ada jadwal tur jam sepuluh nanti,” Pornthip mengingatkan.
“Kalian benar. Tunggu aku sebentar ya,” pintaku.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku dan mengganti baju. Karena ini akhir pekan, berarti aku boleh memakai pakaian bebas. Tapi aku inga tapa yang dikatakan Daejung oppa bahwa selama kami masih beraktivitas di dalam komplek Yoora, kami disarankan tetap memakai jubah. Aku keluar dari kamar mandi dan melihat Pornthip duduk di ranjang Jiwoo bersama dengan pemiliknya.
“Oh ya, Soyoon, kau bisa pakai lemari yang paling dekat dengan lubang. Sarang sudah menyusun lemarinya pagi-pagi tadi. Luar biasa sekali dia,” ujar Jiwoo panjang.
“Bagaimana dengan kalian?”
“Ah, nanti saja ketika kita santai. Menurut kalian, kita bisa bertemu Youngmin sesudah sarapan? Mungkin hanya di sekitar main hall karena aku belum berani berjalan jauh,” usul Pornthip.
“Ah, aku juga memikirkan dia pagi ini. Ayo kita sarapan dulu kalau begitu.”
Jiwoo saling pandang dengan Pornthip selama aku menuju lubang untuk mengetuk bagian atas lubang satu kali, lalu duduk dengan kaki menjuntai.
“Seperti ini ya…”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, aku sudah tersedot, tidak terlalu cepat, lalu terjatuh ke kasur dengan pantatku mendarat duluan. Aku berdiri supaya Jiwoo dan Pornthip bisa bergiliran muncul dari lubang dan mendarat juga di kasur. Ruang rekreasi kosong pagi ini, mungkin semuanya sedang sarapan.
“Kalian benar, ini menyenangkan.”
“Tapi setelah melakukannya sekitar lima kali, aku jadi pusing seperti terkena motion sickness,” keluh Jiwoo, “atau mungkin ini hanya karena aku lapar.”
“Kita mau ke main hall lewat mana?”
Aku menunjuk kedua pintu di Tingkat dua.
“Kurasa menggunakan jalan bawah tanah agak beresiko karena kita belum terlalu familiar. Bagaimana kalau lewat bawah ekor Cerberus saja? Sekalian melihat-lihat bangunan yang kita lewati kemarin dengan jelas,” usul Pornthip yang langsung kami setujui.
Kami naik ke tangga pendek menuju tingkat dua yang hampir penuh dengan sofa, meja dan rak buku. Beberapa obor tergantung di sela-sela rak buku. Aku menuju pintu yang berada di sisi lubang tempat kami masuk semalam. Di sebelah pintu itu, ada secarik perkamen yang ditusukkan ke paku yang mencuat.
Sogogi
Tulisannya kecil dan rapi.
“Berarti kata kuncinya masih sogogi,” kata Jiwoo sebelum mendorong pintu.
Ada tangga berputar di balik pintu ini. Ruangannya sendiri diterangi dengan beberapa obor. Jiwoo naik dan aku menyusul di belakang Pornthip. Tangganya akan membuatmu pusing kalau kau tidak dalam kondisi fit. Kepala Jiwoo hampir tersantuk langit-langitnya ketika kami hampir sampai di ujungnya. Jiwoo mengetuk langit-langit dengan tongkat sihirnya dan bebatuan di langit-langit bergeser terbuka. Jiwoo harus menyingkir dari sedikit debu yang jatuh. Jiwoo segera naik dan kami menyusul. Pintu ruangan tertutup, tapi kami bisa melihat sinar matahari masuk lewat celah pintu. Dengan bersemangat, Pornthip mendorong pintu terbuka. Mau bagaimanapun jendela tersihir di kamar kami menampakkan Cahaya matahari, bagaimanapun yang asli tetaplah lebih indah. Udara di Yoora juga sangat segar, terbebas dari polusi dalam bentuk apapun. Kami berjalan di jalan berbatu.
“Wow, lihat Chingeng Tower. Di pagi haripun indah ya,” celetukku sambil menoleh ke timur.
“Aku tidak sabar dengan tur nanti,” kata Jiwoo sambil berhenti sebentar untuk mengagumi Chingeng Tower.
“Ayo makan dulu, lapar sekali setelah berolahraga di lubang tadi,” keluh Pornthip.
Dengan menerka-nerka, kami mengikuti jalan berbatu.
“Room 106! Itu berarti kita ke kiri – ke barat. Ayo.”
Jiwoo menunjuk papan kecil yang tertancap di rerumputan di depan sebuah bangunan kuno dua Tingkat, dan Ketika kami berbelok ke kiri, di kanan kami ada Room 105. Benar sekali penglihatanku semalam bahwa bangunan dua Tingkat memang sedikit lebih luas dari yang bertingkat tiga. Greenhouse 104 menarik perhatian kami.
“Banyak sekali tanamannya di dalam. Ada apa saja ya? Sepertinya menarik,” ucapku menyuarakan isi hatiku.
“Kita akan belajar tanamannya di Herbologi nanti.”
Kami menghadap ke kiri dan sudah berada di bagian belakang main hall. Di pagi hari, main hall terlihat lebih jelas dan megah. Kami agak sedikit berlari untuk mencapai pintu depan. Di aula depan main hall, aku melihat dua sosok yang familiar.
“Youngjae! Seunghoon!”
“Oh, kalian sudah disini! Ayo kita makan,” ajak Seunghoon.
“Dari mana saja kalian? Kok kami tidak melihat kalian di asrama tadi?” tanya Jiwoo.
“Tadi kami berjalan sedikit mengikuti jalan berbatu sampai ke Sinsol Tower,” jawab Youngjae, “tapi kami langsung pulang lagi supaya tidak melewatkan sarapan.”
“Wah, seru sekali. Apakah tower mereka bagus?” tanyaku.
“Mirip Chingeng Tower tapi tetap berbeda eksteriornya. Sama-sama bertingkat delapan.”
Main hall cukup penuh dengan murid yang berpakaian bebas – tapi tetap memakai jubah Yoora, yang sedang sibuk sarapan. Selagi berjalan di lorong antar meja, aku melongok ke meja paling ujung untuk mencari Youngmin. Ah, ada Youngmin disitu, duduk sambil mengobrol dengan teman di sebelahnya.
“Aku ke tempat Youngmin sebentar.”
“Ayo ajak Youngmin bertemu di depan sebelum jadwal tur kita nanti!” pesan Seunghoon ketika aku sudah berlari kecil.
Mata murid-murid Gongjong agak mengarah padaku ketika aku mendekati meja mereka dan itu membuatku agak gugup. Youngmin menyadari kedatanganku dan cepat-cepat berdiri.
“Soyoon!” panggilnya sambil berjalan mendekatiku, tersenyum sangat lebar, “tidurmu menyenangkan?”
“Ya. Tapi aku mengkhawatirkanmu.”
Youngmin masih tersenyum saat dia menepuk kepalaku, “jangan khawatir, aku punya teman baru. Itu Keum Minsu.”
Youngmin menunjuk Minsu, seorang anak laki-laki tampan yang tadi duduk dan mengobrol bersama Youngmin. Minsu melambai dan tersenyum padaku, yang kubalas dengan senyuman juga.
“Ranjangnya tepat di sebelah ranjangku dan dia sangat ramah.”
“Syukurlah kalau tidak ada yang perlu kukhawatirkan. Bisakah kita semua bertemu di luar main hall setelah sarapan?”
“Oh ya, tentu. Kami ada tur jam sepuluh nanti.”
“Kalau begitu jadwal kita kurang lebih sama.”
“Makanlah dulu, nanti kita ketemu di depan ya.”
Dengan hati yang lebih ringan, aku kembali ke meja Chaeksong dimana kursi di antara Youngjae dan Jiwoo kosong, jadi aku duduk di antara mereka, di seberang Pornthip. Meja kami, sama seperti semalam, penuh dengan menu sarapan. Aku meraih sepiring kimchi bokeumbap – nasi goreng kimchi, dan piring baru yang berisi menu yang sama muncul lagi di tempat yang kosong. Baru saja aku minum segelas jus labu, Daejung oppa muncul di ujung meja.
“Jadwal pelajaran kalian. Jangan lupa tur jam sepuluh ya,” ujarnya mengingatkan.
Daejung oppa membagikan masing-masing satu perkamen pada kami.
“Terima kasih oppa,” ujar Jiwoo, lalu membaca perkamennya.
Perkamennya berisi jadwal Pelajaran kami yang tertulis cukup rapi, tapi kurasa aku akan menulisnya ulang dengan tinta warnaku supaya lebih mudah membaca dan mengelompokkannya nanti.
“Kita akan mulai Senin kita dengan Pelajaran transfigurasi,” baca Pornthip.
“Oh lihat, kita akan langsung ketemu Youngmin di kelas ramuan hari Senin,” ujar Seunghoon senang, “sesudah makan siang! Kita bisa berangkat bersama dengannya.”
“Senin kita padat ya,” keluh Youngjae, lalu menggigit roti selainya dalam satu gigitan besar sehingga kalimat yang dia katakan berikutnya sangat tidak jelas, “monster day.”
“Kita akan suka hari Selasa pagi. Kelas pertahanan terhadap ilmu hitam empat asrama,” tunjukku ke hari Selasa, “bayangkan ramainya!”
“Dan terbang! Kita akan terbang juga di hari Selasa!” seru Jiwoo.
“Dan tidak ada kelas di Selasa sore!” seru Pornthip lebih keras dari Jiwoo, “dan kita belajar astronomi malamnya, bersama Youngmin! Sepertinya hari Selasa menyenangkan!”
“Hari Rabu jam setengah sebelas tertulis ekstrakurikuler… oh ya, kalian mau ambil ekstrakurikuler apa?” tanya Seunghoon, “sudah lihat selebaran ekstrakurikuler di meja ruang rekreasi?”
“Ada tiga kelas yang bisa dipilih anak kelas satu: teori sihir, seni dan kerajinan muggle dan seni pertunjukan muggle,” jelas Youngjae, “aku kemungkinan tidak bagus dalam sesuatu yang berhubungan dengan muggle jadi kurasa aku akan ambil teori sihir saja. Kita toh wajib memilih salah satu dan mendaftar paling telat hari Senin ke Hyunjun hyung.”
“Mungkin aku akan ambil teori sihir juga,” ujarku setengah menerawang, “nantilah setelah aku baca brosurnya.”
“Sepertinya Rabu kita akan bertemu Youngmin lagi,” tunjuk Jiwoo ke hari Rabu, “ada kelas Sejarah sihir sesudah jam makan siang.”
“Menyenangkan sekali kelas yang digabung ini,” ujar Pornthip puas, “dan kelas astronomi lagi malam harinya.”
“Lihat hari Kamis, kita akan bertemu Youngmin dua kali malahan, di kelas Sejarah sihir lagi setelah sarapan, dan ramuan setelah makan siang. Bahkan kelas gabungan di ramuan!” seru Seunghoon.
“Tapi kelas ramuannya dua jam,” keluh Youngjae, “bayangkan kalau kau bodoh di Pelajaran itu.”
“Kabar baiknya kita akan terbang lagi di hari Jumat pagi,” ujarku menelusuri jadwal.
“Dan bertemu Youngmin lagi sesudah makan siang di kelas pertahanan dan herbologi,” ucap Jiwoo dengan mata berbinar.
“Chaeksong cukup berjodoh dengan Gongjong, kita tidak setiap hari bertemu dengan Chingeng dan Sinsol kecuali kelas empat asrama bergabung,” Pornthip menelusuri jadwal dengan hati-hati.
“Dan tentu yang paling menyenangkan adalah hari Sabtu dan Minggu yang kosong,” Seunghoon tersenyum lebar, “ayo kita hangout saja sepanjang akhir pekan.”
“Aku sudah kenyang,” ujar Youngjae sambil mengelus perutnya, “ayo keluar, kalau kalian sudah selesai makan, kita tunggui Youngmin di depan.”
Aku menenggak jus labuku lagi sebelum keluar dengan yang lain. Di aula depan, kami bertemu dengan Jungsook eonni yang baru saja berjalan masuk dengan seorang laki-laki, yang dikenalkannya sebagai Kim Youngchul, kelas dua juga, oppanya Kim Sarang. Kami menunggu Youngmin di tanah bersalju di dekat pintu masuk main hall. Tak lama kemudian, Youngmin menemui kami bersama Keum Minsu.
“Kalian tidak menunggu lama kan? Oh ya kenalkan, ini Keum Minsu, teman sekamarku,” ujar Youngmin, lalu menunjuk kami satu-satu, “ini teman-teman Chaeksong-ku. Kim Soyoon, Park Jiwoo, Pornthip, Seo Seunghoon dan Lee Youngjae.”
“Senang berkenalan dengan kalian, aku Keum Minsu,” ujar Minsu sambil mengangkat tangannya dan tersenyum pada kami, “masih ada lebih dari satu jam sebelum jadwal tur kita. Bagaimana kalau kita tur sendiri dulu? Tidak perlu jauh-jauh, mungkin hanya saling melihat pintu depan asrama.”
“Ide yang baik!” seru Youngmin, yang memimpin kami mengitari main hall.
“Sudah berpikir mau ambil ekstrakurikuler apa, kalian berdua?” tanya Pornthip pada Minsu dan Youngmin.
“Kurasa aku akan ambil teori sihir, kurasa akan lebih mudah daripada belajar sesuatu yang berhubungan dengan muggle,” ucap Minsu malu-malu.
Kami sudah berbelok ke timur dan melewati greenhouse 104, room 105 dan room 106 lagi. Kami berhenti sejenak di depan bangunan-bangunan itu.
“Menarik sekali ya Yoora ini,” ujar Youngmin penuh kekaguman.
“Kalian harus jalan ke barat dan setelahnya ke utara. Ada semakin banyak bangunan seperti ini dan beberapa greenhouse juga,” jelas Seunghoon, “itu, yang agak dekat, kalian lihat? Northwest tower katanya, dan agak belakangnya itu Sinsol Tower.”
“Oh, kelas astronomy kita untuk hari Selasa akan di northwest tower,” celetuk Youngjae, “ini, ada tertulis di jadwal Pelajaran kita.”
“Wah, pasti menarik, tapi itu keliatannya agak jauh. Nanti saja kita kesana waktu tur.”
“Ngomong-ngomong soal jadwal Pelajaran, segalanya luar biasa sekali ya, karena tidak ada satupun kelas kita yang dilangsungkan di bangunan yang sama. Bahkan Pelajaran yang sama di hari yang berbeda, ruangannyapun berbeda,” gumamku sambil membaca jadwal Pelajaran sambil berjalan.
“Tapi kita tiap hari akan bertemu. Kalian sudah lihat kan?” tanya Pornthip bersemangat.
“Ya, aku juga melihat itu. Kita bisa berangkat bareng ke pelajarannya nanti,” jawab Minsu yang terdengar bersemangat juga.
“Asrama kami belok kesini,” Jiwoo berjalan paling depan dan berbelok ke Selatan, “sebenarnya memang benar asrama kita yang paling dekat dengan main hall dan kita tidak perlu berjalan agak jauh begini kalau tidak ada area Semak belukar yang menghalangi main hall dan asrama kita.”
Jiwoo benar sekali, area Semak belukar yang membatasi main hall dan asrama Chaeksong cukup lebar dan lebat, tentu kami tidak mau beresiko melukai diri sendiri dalam usaha menembus ini.
“Nah, ini asrama kami,” ucapku sambil menunjuk pintu masuknya, “tapi anak asrama lain tidak boleh saling mengunjungi asrama?”
“Katanya tidak boleh,” keluh Minsu, “sayang sekali ya.”
“Gerbangnya terlihat sederhana ya?” tanya Seunghoon, “tapi bawah tanahnya luar biasa sekali. Katanya ruang bawah tanahnya bisa tembus ke main hall dan bangunan-bangunan yang kita lewati tadi.”
“Kalau kita lewat jalan berbatu ini ke arah timur langsung membawa kita ke Chingeng Tower,” tunjuk Pornthip ke timur., “itu pintu masuknya terlihat.”
“Nanti kalau kita sudah banyak mengenal Yoora, ayo kita sering nongkrong sama-sama,” ajak Jiwoo.
“Tentu. Semoga meskipun asrama kita berbeda, kita tetap bisa bersama ya,” ujar Minsu sambil mengangguk, “jadi ayo ke arah Gongjong Hall.”
Kami masih berjalan di jalan berbatu dan Kembali lagi ke depan room 106, tapi kali ini kami terus ke arah timur dan melewati room 107.
“Kalau kita tidak hafal letak bangunan, kita pasti akan tersesat untuk kelas-kelas kita,” keluh Youngmin, “lihat, semua room ini bentuk bangunannya sama, hanya terdiri dari dua lantai dan satunya tiga lantai. Dan mereka seperti menduplikasi diri.”
“Kau benar. Room 107 ini sama persis dengan room 105,” Jiwoo juga ikut mengeluh.
Kami sekarang ada di sejenis persimpangan jalan, karena jalan berbatunya terbelah ke utara, timur dan Selatan.
“Sepertinya yang Selatan ini akan membawa kita ke Chingeng tower,” tunjuk Minsu, “kalau sesuai yang kalian katakan tentang jalan berbatu di depan asrama kalian, posisinya tepat. Lihat, kita bisa lihat letak menaranya dari sini. Tapi kalau kita jalan terus ke timur, tidak tau kita akan kemana. Nanti saja kita kesana. Nah yang ke utara ini ke asrama kami.”
Greenhouse 210… aku membaca papan Namanya sebelum mengikuti yang lainnya melewati jalan berbatu lebar di antara room 107 dan greenhouse 210. Jalanannya cukup lengang dan area di kanan kiri kosong, hanya berupa permukaan tanah bersalju, setelah dua bangunan di depan kami lewati. Lalu kami melihat suatu bangunan yang besar sekali, sepertinya dua atau tiga kali dari ukuran main hall. Secara garis besar, kau akan merasa melihat eksterior sebuah penginapan zaman dulu. Papan di atas pintu gerbang bertuliskan “Gongjong Hall” dengan tulisan meliuk-liuk juga.
“Wah ini terlihat luas sekali,” ujar Pornthip dengan mulut ternganga.
“Kurasa harusnya tak jauh berbeda dengan ruang bawah tanah kalian?” tanya Youngmin.
“Hmm karena Gongjong Hall kalian hanya satu lantai begini, kurasa secara lahan, kalian pastilah lebih luas,” jelasku sambil meneliti bangunannya, “karena dungeon kami ada delapan Tingkat… Sembilan, kalau permukaannya dihitung, dungeon kami terlihat lurus ke dalam. Lagipula tiap tingkatnya sebenarnya hanya ada dua kamar.”
“Penjelasan Soyoon masuk akal,” ujar Minsu sambil mengangguk, “sedangkan Gongjong harus menjejalkan empat belas kamar dan satu ruang rekreasi dalam satu lantai.”
“Dan kita akan terbang disini untuk Pelajaran Selasa. Tertulis disini ‘di sebelah barat Gongjong Hall dan di depan room 410.’”
Aku berjalan di atas salju dan mengintip area yang dimaksud, daerah kosong yang cukup luas.
“Ngomong-ngomong, aku sangat penasaran,” ujar Youngmin, “bagaimana kalian naik dan turun di dungeon itu? Naik turun tangga? Bayangkan anak kelas tujuhnya, pasti melelahkan sekali!”
“Tidak, kami bermain seperti semacam slides dan bisa tersedot juga,” tawa Jiwoo yang membuat Youngmin terkesiap.
Kami Kembali berjalan di jalan berbatu dan kali ini ke Selatan, berniat untuk mengintip Chingeng Tower, selagi Jiwoo menjelaskan pada Minsu dan Youngmin tentang mekanisme lubang asrama kami, yang ditanggapi dengan meriah oleh Youngjae dan Seunghoon. Di jalan ini, kami melewati room 211 yang berlantai dua, dan kami berjalan semakin mendekat ke Chingeng Tower.
“Kalian… bukan anak Chingeng, kan? Kalian tersesat? Kelas satu?”
Langkah kami terhenti oleh seseorang yang baru saja keluar dari Chingeng Tower, seorang anak laki-laki yang sepertinya dari Tingkat atas karena yang jelas dia lebih tinggi dari kami semua. Anak laki-laki ini tampan… sepertinya aku pernah melihatnya… oh, dia yang bertanya pada Profesor Yoo sebelum kami naik ke Alicorn kemarin!
“Tidak, hyung, kami hanya jalan-jalan, kami tidak tersesat,” jawab Seunghoon, “kami dari Chaeksong dan Gongjong. Kelas satu.”
Si anak laki-laki tersenyum ramah, “ah, anak tetangga rupanya. Selamat melihat-lihat, kalau begitu.”
Lalu dia berlalu, entah mau kemana, tapi dia mengambil jalan yang akan melewati asrama kami. Jiwoo tampak terkesiap.
“Kalian tidak tau dia siapa?” tanya Jiwoo, “oh sebentar, mungkin Pornthip, Seunghoon dan Youngmin tidak tau. Tapi kau juga tak tau, Soyoon? Kalian nonton Quidditch kan? Pertandingan local? Dan kau, Youngjae? Kau juga, Minsu? Kau tidak tau dia?”
Aku membelalakkan mataku.
“Tunggu sebentar…”
“An Hyungjoon?” tebak Youngjae yang membuat Minsu juga terkesiap, “astaga, dia An Hyungjoon?”
“Apa? Siapa? Apa itu Quidditch?” tanya Youngmin yang penasaran lagi.
Memang benar tidak ada Listrik yang dipakai di rumah keluarga penyihir. Tapi di rumah keluargaku yang setengah muggle, kami pakai televisi yang normal untuk menonton siaran muggle, tapi penyihir punya cara unik lain untuk menonton. Kami selalu menonton siaran dari sebuah cermin yang setara dengan televisi ukuran 50 inch versi muggle. Appa harus mengucapkan mantra ini dan itu supaya televisinya menyala dan perlu mantra lagi untuk mengganti saluran televisinya. Kami menonton siaran Quidditch local. Quidditch adalah olahraga penyihir yang popular, mirip dengan basket dan sepakbola tapi kau melakukannya di atas sapu terbang. Nah, ada liga local juga di negara kita dan ada enam belas total klub yang bertanding.
“An Hyungjoon, si Chaser yang secepat kilat, begitu pujian orang-orang. Dia baru saja bergabung ke Chulhoon Club awal tahun ini, tapi sudah lihat dia turun di pertandingan bulan kemarin? Dia hebat sekali kan?” ujar Minsu Panjang.
“Katanya dia pemain termuda di club. Dan dia tampan sekali,” puji Jiwoo.
“Tidak ada yang mau menjelaskan pada kami apa itu Quidditch?” tanya Seunghoon tidak sabar.
Selagi kami berjalan Kembali ke main hall, Youngjae dengan seru menjelaskan pada Seunghoon dan Pornthip tentang Quidditch. Kami harus berpisah dengan Youngmin dan Minsu karena mereka akan mulai tur dari depan Gongjong Hall, tapi kami berjanji akan bertemu lagi besok sesudah makan siang dan baru akan merencanakan kegiatan kami nantinya.
No comments:
Post a Comment