Two
봄이 오면 새싹도 피어나
When spring comes, new leaves bud
푸른 나무 반가운 꽃들도 피어나고
Pretty flowers bloom on the green trees
어린아이들의 웃음소리 들려오네
As I hear the sound of children laughing
봄이 오면 가볍게 입고서
When spring comes, I wanna dress lightly
너와 내가 두 시에 만나서
Meet you at around 2
벚꽃거리 구경도 해보고 사진도 찍어주고 싶어
And look at the cherry blossoms and take
pictures
매일 따뜻하게 이쁜 너의 손잡을 거야
Every day, I’m going to warmly hold your
pretty hands
이 시간 속을 함께한다는 게 너무 좋아
Being together at this time makes me so
happy
내 머릿속에 마음속에 기억할게
In my head, in my heart, I’ll remember
지금 이 순간 너를
You, right now
매일 노래할게 나의 마음이 들릴 거야
I’ll sing every day, you’ll hear my heart
이 시간부터 너와 나의 봄을 시작해
From now on, our spring has started
내 머릿속에 마음속에 담아둘게
In my head, in my heart, I will place
지금 이 순간 너를
You, right now
(Yoo Seonho – Maybe Spring봄이 오면)
“Heo Chungdae.”
Chungdae mengedipkan matanya beberapa kali.
“Apa yang terjadi? Kau terlihat tidak
berkonsentrasi. Mungkin besok saja kita teruskan rapatnya?”
Aku agak khawatir. Seminggu terakhir ini
kuperhatikan Chungdae tidak terlalu banyak berteriak, bahkan ada beberapa waktu
yang dia habiskan dengan termenung. Aku bahkan khawatir karena dia termenung
saat sedang ada rapat penting denganku. Bulan Mei nanti akan ada festival
olahraga sekolah dan dia adalah ketua panitia penyelenggara acaranya, sesuai
dengan rapat Students Committee.
Biasanya dia akan sangat bersemangat dalam urusan seperti ini. Tapi hari ini,
dia tampak sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Apa kau sakit?” tanyaku khawatir.
“Tidak apa-apa miss, sampai mana kita tadi?”
“Sudahlah, kita pulang saja. Rasanya kita
juga tidak akan bisa bicara sampai selesai karena ini sudah malam. Kecuali kita
perlu menginap,” ujarku sambil tertawa dan menutup laptopku.
“Aku tidak keberatan menginap bersama miss,” ucapnya lugas, “atau kita bisa
lanjutkan di apartemen miss.”
Aku nyaris kelepasan memukuli kepalanya,
tapi ujung-ujungnya aku hanya mengelus puncak kepalanya sambil menahan rasa
kesalku.
“Jangan coba-coba denganku, Heo Chungdae,”
ujarku sambil tersenyum, jenis senyum yang berbahaya.
Chungdae tertawa dan aku lega mendengar dia
sudah tampak seperti dirinya lagi. Mungkin aku hanya khawatir berlebihan.
“Are
you sure you aren’t sick? Do you have any trouble?”
Chungdae tampak berpikir sejenak. Aku
hampir yakin dia akan mengucapkan sesuatu, tapi detik berikutnya dia
menggelengkan kepalanya, membuatku mengerutkan keningku.
“I’m
okay miss. Don’t worry.”
“Remember
you can come and talk to me anytime. And about anything, okay?” aku meyakinkannya dengan senyum tulusku
kali ini.
“So
it’s okay for me to go to your place?” tanyanya sambil menaik turunkan
alisnya.
Aku memutar bola mataku sambil membereskan
mejaku, dia juga membereskan kertas-kertasnya. Rasanya aku tidak perlu bersikap
terlalu baik padanya.
“Yang kumaksud adalah ayo kita pulang
bersama miss.”
“Baiklah. Toh kita berdua harus naik subway,” ucapku menyetujui ajakannya.
Kami berjalan berdua sambil mengobrol
ringan dan mendadak aku teringat dengan tugasnya. Aku baru memberi semua murid
kelas tigaku tugas bulanan.
“Oh ya, mana tugasmu? Deadline-nya dalam 3 hari lagi.”
Chungdae menepuk dahinya dengan keras, “miss! Syukurlah aku diingatkan. Aku
hampir lupa.”
“Sebenarnya kau sudah mulai lanjutkan
belum? Aku ingat minggu kemarin Ketika aku mengecek perkembangan tugasnya, kau
baru kerjakan sekitar setengahnya,” ucapku sambil berkacakpinggang,
“aku tidak akan menerima tugasmu kalau kau terlambat.”
“Miss,
segitu teganya denganku?”
“Ya. Aku tidak akan memberimu kelonggaran.
Semua siswa sama di mataku.”
“Kurasa aku harus begadang malam ini,”
keluhnya Ketika kami berjalan keluar dari gerbang sekolah.
“Kau tidak perlu begadang kalau kau sudah
mencicil pekerjaan itu sejak seminggu yang lalu.”
Kami memasuki stasiun subway yang sama hingga menaiki kereta yang sama, karena stasiun
tujuan kami kebetulan hanya berselisih satu stasiun di jalur yang sama, tapi
aku akan tiba duluan. Suasana stasiun malam ini agak lengang, tapi kereta yang
kami naiki cukup penuh.
“Permisi, apakah Anda boleh membiarkan
wanita ini duduk?”
Tanpa sempat kucegah, Chungdae sudah
menegur salah satu anak muda yang sedang sibuk bermain dengan ponselnya untuk
berdiri. Aku menyenggol Chungdae dengan lenganku sambil menggelengkan kepalaku.
Anak muda itu tampak kurang suka, tapi Chungdae hanya terus tersenyum sampai
orang itu berdiri.
“Chungdae, tidak usah. Aku bisa berdiri,”
hardikku.
Chungdae sudah memegangi kedua bahuku dan membantuku,
lebih tepatnya, memaksaku duduk.
“Miss
masih harus mengajar besok. Duduklah.”
Aku mendongak dan memandangi wajahnya yang
terus tersenyum. Apapun yang kau pikirkan, Chungdae, yang membuatmu tampak
sedih dan termenung, aku berharap itu segera kau lupakan. Aku lebih terbiasa
melihatmu yang seperti ini. Aku suka melihat senyum itu. APA YANG KUKATAKAN?
AKU SUKA… Ah, aku pasti sudah gila. Aku berdeham dan pura-pura mengambil
ponselku. Kalau dia saat ini tidak memakai seragam sekolah dan aku tidak
terlihat mengenakan pakaian formal, mungkinkah kami berdua akan terlihat
seperti pasangan… Oh ya Tuhan, apa yang kupikirkan? Aku perlu mengalihkan
pikiranku.
“Miss,
turunlah sekarang sebelum semua orang naik.”
Aku baru tersadar aku sudah tiba. Dengan
geragapan aku berdiri dan buru-buru melambai padanya sebelum berjalan keluar
dari pintu kereta yang terbuka.
“Sampai ketemu, miss!” ujar Chungdae sambil melambai ceria.
Daripada memikirkan apa yang terjadi pada
Chungdae, kurasa aku harus memikirkan apa yang terjadi denganku dulu. Mungkin
ini efek karena aku kelamaan jomblo. Aku mendesahkan nafasku dengan lelah.
Mungkin aku butuh pacar. Tapi aku terlalu sibuk, mana sempat aku cari pacar?
Keluhan aku dan Eunyul eonni soal ini memang sama, makanya kami berdua terus
jomblo. Sepertinya ingin punya pacar Ketika profesimu sebenarnya adalah guru,
bukan pilihan yang baik.
“Itu orangnya! Tangkap dia! Minggir!”
Sebelum aku sempat menyadari apa yang
terjadi di sekitarku, aku sudah disenggol dengan keras hingga terjatuh. Kedua
lutut dan pergelangan tangan kananku terasa sakit sekali karena aku menahan
berat tubuhku dengannya, apalagi hari ini berat backpack-ku sedang tidak bisa ditoleransi. Ada sekelompok polisi
yang berlarian mengejar seseorang yang berlarian dengan cepat, mungkin dia
penjahat atau apapun itu, dan sialnya aku tak sempat menghindar. Siapa yang
menyangka ada adegan kejar-kejaran seperti ini di stasiun subway malam-malam
begini?
“Miss,
apa miss bisa berdiri?”
Chungdae baru saja berlutut di depanku dan
memegangi kedua bahuku, membuatku mengerjapkan mataku.
“Kenapa kau ada disini?” tanyaku
kebingungan, masih tidak bergerak dari posisiku yang memalukan ini.
“Aku lupa kalau aku tak sengaja mengambil
buku catatan miss dan baru saja akan
kukembalikan.”
“Kau bisa mengembalikan itu besok. Itu
tidak terlalu penting.”
“Aku tidak tau ini penting atau tidak, tapi
syukurlah aku disini kan?” tanyanya sambil memegangi kedua sikuku untuk
membantuku berdiri.
Dia membantuku berdiri perlahan dan aku
merasakan perih di lututku dan sakit yang cukup aneh di pergelangan tanganku.
Mungkin Chungdae melihatku meringis. Memalukan sekali, hanya sakit sedikit saja
aku sudah terlihat begini lemah. Baek Choeun yang bodoh! Mendadak saja,
Chungdae sudah jongkok sembari membelakangiku.
“That
must be hurt, miss. Hop on my back, let me carry you.”
Dia bahkan memindahkan backpack-nya ke dadanya. Aku melihat sekitarku dan tak sedikit
orang yang melihat ke arah kami, beberapa bahkan menunjuk-nunjuk kami.
“Stop
it, this is so embarrassing.”
“Why
is it so embarrassing for me to help you? It might be looking a little weird,
but it will hurt my pride if you don’t hop up now, miss,” aku mendengar nada mendesak
dalam suaranya,
“so please do it for me.”
Aku memejamkan mataku dan memeluk lehernya.
Baiklah, sudah lupakan saja, apapun itu. Kuharap tidak ada yang mengenali kami
di sekitar kami. Chungdae meletakkan lengannya di belakang lututku dan berdiri.
Aku mengeratkan pelukan tanganku, takut dia menjatuhkanku.
“I
must be heavy, right?”
“You’re
a little heavy, but I should be able to carry you. I’m a man, after all.”
Ini aneh, tapi aku menikmatinya. Hatiku
kali ini menang dalam lomba melawan logikaku. Aku benar-benar menyukai ini.
Masa bodohlah dengan apa yang akan terjadi nanti.
***
Aku baru saja masuk ke apartemenku ketika
ponselku berdering. Sulit sekali meraih ponselku yang kuletakkan di salah satu lapisan
tas selempangku yang kecil.
“Ya, ya sebentar,” ucapku pada siapapun itu
yang meneleponku, padahal aku tau mereka tidak bisa mendengarnya, lalu aku
merasakan sakit itu, “aduh!”
Tak sengaja aku mendorong pintu menutup
dengan tangan kananku gara-gara tangan kiriku sibuk dengan ponselku. Aku lupa
bahwa pergelangan tangan kananku terkilir dan aku baru saja pulang dari klinik.
Kini tanganku terbalut perban dan terlihat memiliki ukuran yang tidak normal,
tapi yang membuatku lebih sedih, aku tidak boleh ke sekolah selama akhir minggu
ini hingga nanti Senin. Aku juga terpaksa memesan makanan karena aku tidak bisa
memasak dalam kondisi begini. Dengan geragapan aku melirik ponselku dan
menyadari Eunyul eonni yang meneleponku, memohon akses video call. Kuletakkan ponsel itu bersandar di sekerat botol susu
pisang favoritku dan menekan tombol menerima telepon.
“Eon…”
“SAKIT APA KAU, KENAPA KAU TIDAK MASUK?”
Begitulah Eunyul eonni, seringnya berbicara
duluan sebelum aku sempat mengatakan apapun. Kutunjukkan tangan kananku sambil
nyengir bodoh. Aku melihat dia mendekatkan wajah cantiknya ke layar ponsel.
“Cuma terkilir. Aku sudah ke klinik, Senin
sudah bisa kerja lagi. Tapi aku tidak boleh mengangkat benda apapun yang lebih
berat dari laptopku sampai akhir bulan,” laporku dalam satu tarikan nafas
supaya dia tidak khawatir.
“Ceritakan apa yang terjadi.”
“Kejadiannya sangat cepat dan sebelum aku
menyadari apa itu, aku sudah terjatuh. Mungkin ada penjahat yang menabrakku
karena ada sekelompok polisi yang berlarian melewatiku setelahnya.”
“Santai sekali nada kau berbicara.
Bagaimana kalau tadinya penjahat itu membawa senjata tajam dan melukaimu?”
tanya Eunyul eonni dengan dahi berkerut.
“Sudahlah eonni, aku tak penting begini,
untuk apa si penjahat melukaiku?”
“Kau mau aku kesana? Kau mau aku kirimkan
makanan?”
“Ide yang kedua sepertinya asyik. Aku tak
bisa memasak soalnya,” jawabku sambil tertawa, “tidak usah datang kesini, eonni
sudah cukup sibuk kan?”
“Kau benar. Sayangnya aku akan pulang
sangat malam hari ini. Mungkin nanti aku kirimkan saja makanannya ya. Kau mau
makan apa?”
“Apa saja boleh, aku sedang sangat
kelaparan akhir-akhir ini.”
Sejenak aku terdiam. Sulit rasanya
menyimpan semua ini sendirian. Aku berusaha melirik suasana di belakang Eunyul
eonni dan mempertimbangkan keputusanku.
“Eonni, sedang di ruang guru?” tanyaku
untuk memastikan, karena aku tidak pernah masuk ke ruang guru SD.
“Ya. Kenapa?”
“Bisa ke tempat yang lebih sepi?”
“Tunggu sebentar,” jawab Eunyul eonni yang
langsung setuju tanpa bertanya apa alasan dari permintaanku.
Dia membawa ponselnya masuk ke daerah
tangga darurat yang sepi, lalu dia mengangkat layar ponselnya supaya aku bisa
melihat wajahnya lagi.
“Sekarang aku sendirian,” balasnya,
suaranya terdengar bergema.
Aku mendesahkan nafas Panjang sambil
memejamkan mataku.
“Ada masalah? Jangan disimpan sendiri.”
Aku menggigit bibir bawahku dan berucap
dengan suara yang halus dan pelan, “kurasa… aku jatuh cinta.”
‘APA? SERIUS? DENGAN SIAPA? MANA, KENALKAN
DENGANKU!” teriaknya histeris.
“Dengan… dengan Heo Chungdae,” jawabku
dengan suara yang lebih pelan lagi, nyaris berbisik.
“Dengan siapa? Heo Chung… CHUNGDAE?
CHUNGDAE 3A?”
“Eonni, jangan keras-keras!”
“Tapi bagaimana bisa...” Enyul eonni tampak
tergagap, “bagaimana mungkin?”
“Aku tau. Aku bodoh sekali,” ujarku dan
seketika air mata menetes perlahan tanpa bisa kutahan.
Bodoh sekali aku, sekarang aku malah menangis.
Menangisi perasaanku dan kejujuranku yang membuatku malu.
“Tenangkan dirimu. Sabar, jelaskan perlahan
padaku. Tidak perlu menangis!”
“Tapi aku merasa bersalah…” isakku, “aku
tau ini tidak boleh terjadi… tapi aku masih…”
***
Aku mengecek penampilanku di cermin dan
menyadari mataku terlihat agak bengkak. Astaga, apakah aku menangis segitu
parahnya di saat video call dengan
Eunyul eonni? Pasti sangat memalukan. Untung itu Cuma Eunyul eonni, bukan orang
lain. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh bel pintuku yang berbunyi. Oh, mungkin itu
makan malam kiriman Eunyul eonni.
“Ya, tunggu sebentar.”
Aku tidak mengharapkan melihat Heo Chungdae
di depan pintuku sambil membawa bungkusan restoran ayam favoritku. Dia
tersenyum lebar dan rambutnya agak basah seperti baru mandi. Aku tidak bergerak
dari posisiku di depan pintu dan hanya memandangi wajah Chungdae.
“Miss!
Aku merindukanmu!”
“Apa-apaan kau ini,” hardikku sambil
mengerjapkan mataku, “kita baru bertemu kemarin dan hanya tidak bertemu pagi
ini saja.”
“Aku delivery
man spesialmu malam ini. Aku tidak dipersilakan masuk?”
Akan tidak enak dilihat tetangga kalau dia
tetap berdiri di luar seperti itu, jadi aku agak menepi dan membiarkannya
masuk. Jadi untuk dua malam berturut-turut dia datang ke tempatku, meski
semalam dia hanya kuizinkan mengantar hingga ke depan pintu. Aku tak mengerti
kenapa makanan yang dijanjikan Eunyul eonni ada di tangan anak ini? Dengan
santai, Chungdae duduk di lantai di atas bantal duduk di atas karpet,
diletakkannya bungkusan makanan di atas meja tamu dan matanya sibuk melihat ke
sekitarnya, menyelidiki interior apartemenku.
“Bagaimana bisa…?”
“Kan sudah kubilang, aku merindukan miss,” jawabnya asal.
Aku memutar bola mataku sambil berjalan ke
dapur untuk mengambilkan minuman untuknya. Ketika gelasnya sudah kuletakkan di
atas meja, aku melipat kedua tanganku di depan dadaku, menuntut jawaban yang
serius.
“Miss
Hwan tadi mencariku dan meminta bantuanku. Lagipula sudah tugasku untuk
memastikan wali kelasku dirawat dengan baik saat dia sakit.”
Aku duduk di hadapannya di seberang meja
dengan perlahan agar lututku tidak menabrak kaki meja, sebelah alisku terangkat
dan mataku memandanginya curiga.
“Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
“Ya, hingga membuat lututnya luka dan
pergelangan tangannya terkilir,” katanya dengan santai, “sungguh bisa menjaga
diri dengan baik.”
Aku cemberut dan itu membuatnya tertawa.
Sial, aku mulai berpikir yang aneh-aneh lagi saat melihatnya tersenyum begini.
Aku perlu bertanya pada Eunyul eonni apa maksudnya mengirimkan Chungdae ke
rumahku, tapi tidak sekarang. Chungdae sekarang membukakan makananku dan
menatanya di hadapan kami.
“Miss
Hwan sangat bijak, dia bahkan membelikan 2 porsi yang kurasa seporsinya
untukku.”
“Tidak, aku bisa makan 2 porsi.”
Dia menggelengkan kepalanya, “oh tidak
tidak. Ini pastilah bayaranku.”
Aku makin cemberut mendengar pernyataannya.
Aku mengambil satu paha ayam dengan tangan kiriku. Perutku mulai berbunyi
saking laparnya aku.
“Dimana aku bisa cuci tangan?” tanya
Chungdae sambil melihat ke balik bahuku.
“Maju terus lalu belok kanan, disitu ada
wastafel di depan kamar mandi,” jawabku sebelum menggigit paha ayamnya dengan
rakus.
Chungdae dengan cepat berlalu dan aku
memandangi sumpit dengan putus asa. Sulit rasanya bahkan memegangi sumpit
dengan tanganku yang terkilir ini, jadi bagaimana aku bisa memakan nasinya?
“Sudah, biar aku saja.”
Chungdae mengambil alih sumpit di tanganku,
membuatku terkejut, lalu menggantinya dengan sendok dan menyendokkan nasi
untukku.
“Aaaaa~”
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku dengan nada
tegas.
“Aku sedang menyuapimu miss.”
“Kau tidak perlu melakukan itu!”
Chungdae melotot padaku dan sepertinya dia
benar-benar memaksa. Aku tidak punya pilihan lain sekarang. Aku makan nasi dari
sendoknya dan dia tersenyum puas seolah baru saja berhasil menyuapi bayi.
Seketika aku menyesali tindakanku.
“Good
girl,” pujinya sambil tersenyum bangga.
“Aku bukan girl!”
“Then
good woman?”
“Ya, HEO CHUNGDAE!” teriakku Ketika
amarahku mencapai puncaknya.
Sebelum aku sempat menghajarnya dengan
sumpit, bel pintuku berbunyi lagi. Dan Chungdae sudah membukakan pintu bahkan
sebelum aku berhasil berdiri.
“Donghyun?”
Dalam ketergesaanku berdiri, lututku
menabrak kaki meja dan membuatku berteriak kesakitan, “aduh!”
Chungdae dan Donghyun berlarian masuk
dengan panik dan bertanya nyaris bersamaan, “miss apa kau baik-baik saja?”
Aku hanya bisa mengerjapkan mataku
kebingungan. Chungdae bisa disini saja malam ini sudah membuatku heran,
sekarang malah bertambah Donghyun.
“Oh ini, aku hanya mau mengantarkan sup…
dari eommaku. Begitu dia tau miss terluka,
dia membuatkan ini untuk miss,” jelas
Donghyun sambil meletakkan bungkusan di meja.
Memang eomma Min Brothers cukup akrab
denganku karena aku pernah beberapa kali ke apartemen mereka sejak dua tahun
yang lalu karena mereka minta bantuanku dalam menerjemahkan beberapa dokumen ke
bahasa Inggris. Aku bahkan memanggilnya eonni karena umurnya yang baru
menginjak 40 tahun.
“Oh sampaikan terimakasihku padanya,
Donghyun.”
“Kalau begitu aku…” Donghyun menunjuk pintu
depan.
Chungdae merangkulnya, “tidak, kau tidak
boleh pulang. Tinggallah bersama kami dan ikut makan. Semakin ramai semakin
asyik.”
“Ya, Chungdae benar. Tunggu disini biar
kuambilkan mangkuk.”
“Biar aku saja, miss,” kata Chungdae santai seolah ini adalah apartemennya.
Dan Chungdae sudah melesat masuk. Menyenangkan rasanya menghabiskan waktu bersama mereka berdua yang ceria. Setidaknya suasana tidak menjadi canggung seperti saat aku hanya berdua dengan Chungdae. Tapi aku perlu bertemu langsung dengan Eunyul eonni untuk minta pertanggungjawabannya. Pasti ada maksud di balik tindakannya mengirim Chungdae kepadaku.
No comments:
Post a Comment